06 : Damar bukan Dimas

174 45 53
                                    

Penghujung Jalan
Damar bukan Dimas


•°•


"Assalamu'alaikum Senja…"

Ini rekor baru buat gue. Biasanya paling lambat tiga hari setelah kencan buta gue akan menghubungi patner kencan buta gue lebih dulu.

Tapi dalam kasus Senja memakan waktu dua minggu. Dua minggu setelah kencan buta berakhir, akhirnya gue menghubungi Senja lebih dulu.

"Wa'alaikumsalam," suara Senja di seberang telepon mengalun pelan. Gue gak ngerti, kenapa ketika Senja membalas salam gue rasanya tuh senang banget.

Lebih senang daripada habis menang lotre.

"Saya pikir kamu lagi sibuk, chat saya gak dibalas."

"Kamu nunggu balasan chat saya?" senyum gue merekah makin lebar.

"Iya—ah engga juga." Senja menghela napas pendek. "Kamu bilang saya boleh hubungi kamu kalau saya merasa kesepian 'kan?"

Gue terkekeh. "Saya bercanda, Senja."

"Ternyata kamu usil juga ya, Dimas."

"Senja…"

"Saya senang banget, setelah sekian lama ada yang bisa balas salam saya."

"Selain saya memangnya gak ada yang bisa balas salam kamu?"

"Bisa aja sih, tapi mungkin salamnya gak akan tersampaikan."

"Jadi itu maksud perkataan kamu waktu itu, soal saya yang nyatanya berbeda?"

"Ternyata kamu cepat tanggap ya,"

Kita sama-sama tertawa.

"Senja, kamu sudah makan malam?" tanya gue sengaja mengganti topik.

"Sebulan kebelakang saya gak makan malam, tapi sebagai gantinya saya makan buah."

"Diet?"

"Iya. Kemarin berat badan saya melonjak naik jadi saya pikir saya harus diet—"

"Jangan diet, Senja."

"Hm?"

"You doesn’t need to change anything. You're pretty and perfect just as you right now."

"Daripada harus diet lebih baik olahraga," gue menambahkan ketika Senja hanya diam tak merespon. "Kalau kamu mau saya siap jadi patner olahraga kamu,"

"Iya, saya juga olahraga sih. Tapi akhir-akhir ini memang lagi gak dalam mood yang bagus."

Gue ikut menghela napas ketika Senja melakukan hal yang sama. "Patah hati itu memang dampaknya sebesar ini ya," cicit gue.

"Senja kamu perlu ingat yang terluka bukan cuma kamu, saya juga mengalaminya. Kamu gak sendirian."

"Ini waktunya buat kita bahagia, melupakan memang sulit. Tapi daripada harus berjuang untuk melupakan, lebih baik mengukir cerita yang baru."

"Saya tahu…" topik seperti ini memang terkesan sensitif, gue pun merasa begitu. Mungkin Senja merasakan hal yang sama sampai suaranya makin terdengar kecil. "Saya sudah dengar kalimat seperti itu puluhan kali."

"Saya bisa nyanyi." kata gue out of topic. Emang kayanya gue gak pernah jago mengalihkan topik dengan halus deh. "Suara saya bagus, kamu mau dengar."

Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang