04 : Kebetulan

191 49 82
                                    

Penghujung Jalan
Kebetulan

•°•




"Bir, turun gak?" tanya gue, Alubiru yang duduk anteng di atas kursinya mengalihkan tatapan. "Ayo makan siang,"

"Sendiri sana," jawab Alubiru. "Gue ada janji makan siang bareng Aletta."

Gue mendecih. "Dasar bucin!"

Alubiru yang dasarnya gak pedulian hanya mengangkat bahu acuh. "Iri bilang boss…" sungutnya dengan raut datar.

"Hah!" sambil mendengus gue meraih ponsel, membuka riwayat panggilan yang gue lupa kapan terakhir kali gue cek. "Gak perlu iri, gue juga punya temen makan siang lain, selain lo!"

Dengan mulut yang bersungut-sungut mata gue gak lepas meneliti satu per satu kontak masuk dan keluar di riwayat panggilan. Mengatupkan mulut, gue beralih menggigit bibir bagian dalam. Berpikir keras.

Senja.

Dari semua kontak di riwayat panggilan, cuma nama itu yang menarik perhatian gue sejak awal.

Jujur deh sejak dua hari terakhir, bohong kalau gue gak suka tiba-tiba kepikiran Senja. Gak tahu alasannya apa yang jelas kalau lagi melamun dikit, langsung keingat sosok murah senyum itu.

"Telepon gak ya?" gumam gue tanpa sadar mengetuk-ketuk pinggiran ponsel dengan jari telunjuk.

Mau telepon, tapi gengsi.

Iya gengsi, kalau beneran gue telepon Senja sekarang, lagi lagi gue jilat ludah sendiri.

.

"Sebenarnya saya gak berniat ikut kencan buta lagi, ini pun karena terpaksa."

Senja memajukan sedikit bibirnya pun kepalanya mengangguk dengan irama pelan. "Oh gitu, Alubiru ya, yang maksa?"

"Iya." jawab gue. "Ini akan jadi kali terkahir saya kencan buta, setelah ini saya mau tutup pintu rapat-rapat."

Terdengar ambigu memang tapi Senja justru tersenyum seolah cewek itu mengerti dengan ucapan gue.

"Kalau gitu terimakasih banyak, kamu mau ketemu saya meskipun terpaksa." senyumnya gak terlihat seperti menyindir, di mata gue kelihatan tulus. "Kamu orang yang baik, Dimas."

.

Arrghh!

Mulut sialan, kenapa sih gue harus bicara kayak gitu? Kan, sekarang diam-diam jadi merasa menyesal.

"Heh!" gebrakan kecil di atas meja kerja buat gue terlonjak, menatap Alubiru dengan mata membelalak kaget. "Gak jadi turun lo?"

"Gak tahu!" kata gue gak santai. "Gak usah nanya-nanya deh lo!"

"Dih, ngambekan kaya nenek-nenek." cibir Alubiru. "Buruan kalo mau turun bareng—"

"Duluan aja kali!" selak gue setengah ngegas. "Gue bukan anak kecil yang takut jalan sendirian!"

Alubiru biar mukanya garang dan terkesan datar, tetap aja pribadi yang nyebelin. Buktinya dia sekarang ketawa, menertawakan gue yang bersungut-sungut menatapnya.

"Santai dong…" masih berusaha meredakan tawanya, Alubiru mendekat cuma buat ngusak-ngusak rambut gue. "Yaudah gue turun duluan ya, bye bye jomblo!"

Gue melotot. "Sialan Alubiru!"




 "Sialan Alubiru!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang