Penghujung Jalan
Permintaan bertemu•°•
Senja
online
| malam damar,
| besok bisa bertemu sebentar?Untuk pertama kalinya chat dari Senja gue anggurin. Biasanya gak sampai satu menit ada chat dari Senja masuk, pasti langsung gue bales, as soon as possible.
Tapi karena kejadian di kantor Senja siang tadi, jari tangan gue tuh rasanya berat banget ketika hendak buka chatroom dengan Senja.
Semua gara-gara mulut asalnya Joyi. Kalo aja cewek itu gak ngomong yang aneh-aneh gue gak akan se-gengsi atau segalau ini cuma buat bales chat.
Alhasil dari tadi gue cuma diem mantengin pop up notifikasi, sambil bilang,
"Buka. Jangan. Buka. Jangan. Buka. Jangan. Buka? Jangan?"
Gitu aja terus sampai tiba-tiba badan gue terseger paksa dari atas sofa, hampir aja tulang rusuk gue nabrak pinggiran sofa. Gue noleh dengan alis mengkerut protes.
"Ngapain sih, Bim?" tanya gue agak sewot.
"Geseran." jawab Bima sambil memaksakan diri untuk duduk di space kosong sebelah gue.
"Kan ada sofa lain yang kosongㅡ"
"Gak. Enakan di sini, langsung ngarah ke TV."
Kalau gue keras kepala, Bimaㅡadik gue satu-satunya iniㅡlebih keras kepala lagi. Dari pada berujung ribut karena permintaannya gak dipenuhi, gue akhirnya ngalah pindah ke sofa yang lainnya.
Yang tua yang ngalah, si bungsu mah apa aja harus diturutin. Dasar youngest on top!
"Misi, paket!"
Baru gue duduk dari luar ada tukang paket, gue langsung tatap-tatapan sama Bima. Saling nyuruh satu sama lain lewat pandangan mata.
"Misiii, pakeett!!"
Teriakan kedua tapi belum ada yang beranjak bangun. Gue melotot, "keluar sana." titah gue.
"Mas aja," bantah Bima. "Adek barusan abis bersihin kamar mandi, capek. Mas kan daritadi cuma mantengin hape, sana keluar."
"Kamu nyuruh Masㅡ"
"Misiii paketttt!!!!"
"Iya iya! Tunggu sebentar!" sambil teriak mau gak mau gue beranjak bangun. "Pasti paket punya kamu kanㅡ"
"Sok tahu, punya Bunda kali. Paket tanaman." selak Bima acuh dan terkesan gak peduli. Bungsu dari Bapak Sentono ini cuma melengos ketika gue jelas-jelas menatapnya kelewat tajam.
"Hih, tengilnya keturunan siapa sih?!" sambil mendumal gue buru-buru membuka pintu, menyambut tukang paket dengan wajah ditekuk.
"Paket atas nama Ibu Tarti?" tanya si tukang paket.
"Iya," gue menjawab setengah hati kemudian mengernyitkan dahi begitu tukang paket mendorong satu box besar dan terlihat berat.
"Ini paketnya Mas, tolong tanda tangan di sini." dengan pulpen milik si tukang paket gue tanda tangan di atas kertas tanda terima. "Makasih Mas."
Ketika tukang paket pergi tersisa gue dengan dus besarㅡdan pasti beratㅡyang tergeletak di atas teras lantai. "Ini harus banget gue angkut ke dalem?" tanya gue entah pada siapa.
"Paket punya Bunda ya Mas?" saat gue menoleh Bunda mengintip dari balik pintu, kepalanya menyembul di celah pintu. "Kok gak dibawa masuk?"
"Harus banget dibawa masuk?" tanya gue balik, ketara sekali kalau terlalu malas untuk mengangkat paket super berat itu. Kalau boleh sih, biarin aja di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Jalan
Short StoryDamar sudah lelah. Seluruh perjuangannya tidak ada yang membuahkan hasil, selalu terhalang oleh sekat kuat tak kasat mata. Ingin sekali menyerah, tapi pada penghujung jalan, ia menemukan titik cerah. Ternyata skenario-Nya lebih indah. Kim Doyoung...