12 : Bertemu (2)

122 38 16
                                    

Penghujung Jalan
Bertemu (2)



•°•




Setengah jam sebelum waktu janjian gue akhirnya berangkat dari rumah dengan mood yang tidak sebagus memulai hari. Pagi ini gue bangun dengan mood yang bagus, bahkan ketika Bunda menyindir perihal menikah pun mood gue masih bertahan.

Tapi ketika Aletta datang, dan menangis tepat di depan gue, persentase mood yang semula tinggi melonjak turun.

Jujur aja, gue jadi gak se exited sebelumnya.

Tapi bukan berarti gue akan menyalahkan kedatangan Aletta, engga, gue gak mau menyalahkan perempuan rapuh itu. Justru seharusnya yang disalahkan diri gue sendiri.

Seharusnya kalau benar akar nya telah sepenuhnya tercabut, kalau benar nama Aletta sudah tersapu bersih di hati,

Seharusnya gue gak kepikiran kaya gini.

Seharusnya gue gak runtuh hanya karena melihat air matanya lolos gitu aja.

Apa Bunda benar perihal gue yang belum benar-benar bisa melupakan Aletta.

"No, Damaresta. No." dengan sengaja gue menampar pipi sendiri, berusaha menyadarkan. "Ada Alubiru. Aletta punya Alubiru, dan lo harus ingat Alubiru itu sahabat lo sendiri."

"Gak ada sahabat yang mengkhianati sahabatnya."

Hingga mobil berhenti di wilayah parkir basement Botani, gue gak berhenti menyakinkan diri sendiri,

Meyakinkan bahwa Damaresta telah sepenuhnya menghapus Aletta.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Nyatanya,

Yang mati-matian dihapus eksistensinya justru semakin sulit diabaikan.

Kalau dalam kasus gue, terlepas gue yang sudah benar-benar lupain Aletta atau belum, gue bersikeras menyatakan bahwa gue sepenuhnya sudah move on.

Berbanding terbalik dengan kasus Senja.

Tiga menit sebelum waktu janjian gue memasuki area starbucks, tempat kita janjian. Tidak sulit untuk menemukan eksistensi seorang Senja, karena perempuan itu memilih duduk di kursi yang sama dengan kejadian kebetulan waktu itu.

Gue berusaha mengulas senyum dan melangkah menghampiri Senja.

"Senja?"

Itu jelas bukan gue. Karena tungkai kaki gue berhenti berayun ketika orang lainㅡseorang laki-laki yang gak gue kenalㅡdatang menghampiri Senja lebih dulu. Menegur perempuan itu dengan senyum sumringah.

Jarak tempat gue berhenti gak terlalu jauh sampai gue menangkap sinyal gak nyaman di balik senyum yang Senja ulas sebagai balasan dari senyum si laki-laki.

Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang