05 : Assalamu'alaikum Senja

165 47 56
                                    


Penghujung Jalan
Assalamu'alaikum Senja

•°•

"Kantor kamu dimana, biar saya antar kamu ke sana." tanya gue sambil pakai seatbelt.

Gue sama Senja baru aja selesai makan soto mie Bogor di daerah Suryakencana, dan seperti janji gue, sekarang gue harus antar Senja ke kantornya.

"Hng… kamu antar saya ke stasiun aja, Dim." kata Senja bikin gue menaikkan alis karena heran.

"Kok stasiun? Kan saya janji antar kamu sampai kantor."

Senja agak menunduk, memainkan jari-jemari tangannya yang saling bertaut. Ketara sekali dia sedang menghindari tatapan mata gue.

"Sebenarnya…" ucapan dia menggantung. Gue makin mengerutkan dahi, jadi gregetan sendiri.

"Sebenarnya kenapa Senja?" desak gue gak sabaran.

Senja mendongak dan kita saling menatap satu sama lain. Senja meringis, "kantor saya di Jakarta Selatan, tepatnya Sudirman Plaza, Jl. Jendral Sudirman."

"Ya terus kenapa?" gue clueless. Apa yang salah sih sampai Senja kelihatan gak nyaman gitu.

"Kalau kamu antar saya, terlalu jauh Dim. Jakarta juga kan gak luput dari yang namanya macet—"

"Tapi janji tetap janji, Senja." kata gue sambil mengulas senyum tipis, berharap Senja membuang jauh-jauh pikiran merepotkannya. "Mau kantor kamu ada di ujung dunia pun, kalau saya sudah janji, akan saya tepati."

Mobil kemudian melaju di jalan Raya Bogor, menuju Jakarta Selatan.

"Serius Dimas, saya gak mau merepotkan kamu." saat mobil baru saja masuk tol Senja masih saja berusaha membujuk.

"Gak repot kok, santai aja." gue melirik dia sekilas, tangan kiri gue yang bebas gak tahu kenapa terjulur dan hinggap di atas puncak kepala Senja. "Kerjaan saya hari ini selesai lebih awal jadi saya gak merasa direpotkan."

Senja tersenyum, agak kaku. "O-oh yaudah, makasih."

Rambut Senja gue usap pelan pun senyum gue tanpa sadar semakin melebar. "Makasihnya nanti aja, kan belum sampai."

Saat gue menarik tangan untuk memindahkan persneling suasana berubah hening, yang terdengar cuma suara radio yang tadi disetel Senja.

"Dimas…" panggil Senja.

Meskipun nama gue bukan Dimas gue tetap menoleh. "Ya?" bodohnya lagi sampai detik ini—meskipun dalam hati memprotes setiap kali Senja memanggil dengan nama Dimas—gue gak pernah benar-benar ingin protes.

"Saya kira kamu gak mau berhubungan lagi sama saya," kata Senja, dia sesekali melirik ke samping. "Kalau saya gak salah ingat, kamu bilang, kamu mau tutup pintu rapat-rapat."

"Itu benar," gue sengaja memperlambat laju mobil, pun mengambil sisi kiri untuk lajur lambat. "Tapi kamu agak keliru sedikit."

"Saya memang bilang mau tutup pintu rapat-rapat, tapi saya gak benar-benar bilang gak mau berhubungan sama kamu lagi."

Sambil meluruskan punggung sedikit sesekali gue menoleh pada Senja. "First impression saya sama kamu, saya pikir kamu sama aja seperti yang sebelumnya. Tapi nyatanya kamu beda,"

"Senja… kalau saya ingin tahu tentang kamu lebih jauh dan dalam lagi, apa kamu kasih saya izin?"



"Senja… kalau saya ingin tahu tentang kamu lebih jauh dan dalam lagi, apa kamu kasih saya izin?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang