1. First Meet

1K 48 0
                                    

Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit. Aku merapatkan jaket tebal yang membalut tubuhku. Kedua telapak tanganku juga aku masukkan ke dalam saku jaket. Musim dingin kali ini benar-benar sangat dingin meski salju belum juga turun. Aku meraih gagang pintu sebuah bar dan mendorongnya. Saat berada di dalam bar yang sangat ramai dan berjubel orang, rasa hangat mulai terasa. Di musim dingin, orang memang lebih suka datang ke bar atau kafe untuk sekedar meminum bir atau whisky sebagai penghangat badan. Pandanganku beredar di seluruh ruangan bar untuk mencari kursi kosong. Aku melangkah menuju ke satu kursi kosong yang berada di bagian depan. Setelah duduk, aku memesan segelas bir.

Sembari menunggu bartender menyiapkan birku, pandanganku beredar lagi. Sebagian besar dari orang yang berada di ruangan ini adalah penduduk asli New Haven, sementara aku adalah pendatang yang sedang mencoba peruntungan dengan mengambil beasiswa pendidikan di sini. Bartender menyuguhkan gelas bir dan aku meminumnya hingga tiga teguk. Rasa hangat mulai terasa di badanku yang nyaris membeku di depan. Tiba-tiba terdengar alunan gitar, aku langsung menoleh dan mencari asal suara. Ternyata ada sebuah panggung di bagian sudut bar. Seorang perempuan dengan balutan jaket tebal dan beanie hat warna marun sedang memegang gitar dan menyanyikan sebuah lagu. Suaranya lembut dan sangat menghangatkan, menurutku. 

Listen to your heart, when he’s calling for you. Listen to your heart there’s nothing else you can do.

Dia menyanyikan lirik lagu Roxette dengan sangat bagus, meski mungkin suaranya tidak sekuat Marie Frediksson. Tapi, suaranya mampu menghipnotisku. Pandanganku tidak berhenti memandangi perempuan yang terus menyanyikan beberapa lagu. Ini adalah pertama kalinya aku datang ke bar ini, juga pertama kalinya, aku bisa terhanyut oleh suara nyanyian seseorang. 

Setelah menyanyikan beberapa lagu, dia meletakkan gitarnya di lantai dan menyandarkannya pada tembok. Dia kemudian berjalan menuju ke arahku hingga berhenti tepat di sampingku. Dia memesan segelas bir pada bartender.

Do not staring at people like that.” Dia menoleh padaku saat mengatakannya. 

Aku tertegun. Apakah dia menyadari pandanganku sejak tadi? batinku.

You have a beatiful voice.” Pujiku.

Dia kemudian tersenyum. Singkat. Tapi sangat manis. Dia meminum birnya hingga setengah lalu berjalan pergi.

Sebelum pergi dia berkata, “Thanks for the beer.” Bibirnya tersenyum lagi.

Aku hanya diam terpaku. Perempuan yang aneh tapi kenapa aku jadi terpesona padanya. Aku menertawakan diriku sendiri, lalu meminum bir milikku lagi. Setelah menghabiskan bir, aku membayar untuk dua gelas bir pada bartender, lalu berjalan pergi.  Rasa dingin mulai terasa lagi saat berada di luar bir. 

Salju akhirnya mulai turun. Aku mendongak dan merasakan wajahku terkena butiran-butiran salju. Pandanganku pada salju langsung berhenti ketika aku mendengar suara orang jatuh. Aku menoleh dan menemukan seseorang yang sudah jatuh pingsan tidak jauh dari tempatku berdiri. Dari jaket dan beanie hat yang dipakai, aku langsung tahu kalau orang yang pingsan itu adalah perempuan tadi. 
Sesuatu menggerakkanku untuk segera berlari padanya dan memeriksa keadaannya. Sebagai seorang dokter, aku tentu saja tahu apa yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama. Beberapa orang tampak berkerumun dan memberitahuku kalau ada rumah sakit kecil sekitar 200 meter dari tempatku sekarang. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membopong perempuan itu dan membawanya ke rumah sakit yang ditunjukkan. Kenapa aku memilih membopongnya dan dengan setengah berlari menuju rumah sakit? Aku takut kalau menunggu ambulans akan membahayakan nyawanya. Detak jantungnya terdengar lemah tadi.

Aku hampir kehabisan napas saat sampai di depan rumah sakit. Beberapa perawat langsung membantuku saat melihatku membopongnya. Mereka segera mendorong brankar dan memberinya pertolongan pertama. Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Meski aku seorang dokter, namun lisensiku bukan di Connecticut. Aku hanya bisa berdoa di tempatku berdiri ini, dan berharap dia akan membaik.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang