7. Kamu Mengambil Duniaku

155 22 0
                                    

Seperti hari-hari biasanya, aku selalu memulai pagiku dengan mengunjungi beberapa pasien lalu membuka jam praktek di rumah sakit, melayani konsultasi pasien hingga lewat tengah hari. Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul 2 siang. Pantas saja perutku terasa lapar. Aku beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan. Langkah kakiku terhenti saat aku melihat seseorang yang aku kenal sedang berjalan ke arahku. Bibirnya menyunggingkan senyum.

"Ada waktu untuk makan siang?" Dia mengacungkan kotak makan yang dibawanya sambil tersenyum lebar.

"Kita makan di kantin?"

Dia menggeleng. "Bagaimana kalau di rooftop?"
Aku mengangguk, menyetujuinya. Kami berdua lalu berjalan menuju ke lift untuk sampai di lantai teratas rumah sakit. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Dia selalu terlihat cantik. Meski sekarang hanya menggunakan kaos dan celana jeans. Dia membalut kaosnya dengan cardigan warna pastel.

"Bagaimana kamu tahu ruanganku?" tanyaku sembari berjalan menaiki tangga menuju ke rooftop.

"Aku bertanya pada perawat. Sepertinya, semua perawat di sini tahu ada dokter seganteng kamu." Zoe tertawa setelah mengatakannya dan aku malah tersipu malu.

"Aku tidak seterkenal itu." Aku berusaha untuk menutupi wajahku yang tersipu.

"Itu lebih bagus. Karena aku bisa cemburu kalau perawat-perawat itu menggodamu." balas Zoe yang membuatku langsung menghentikan langkah. Zoe yang lebih dulu melangkah dan berada beberapa anak tangga dariku, berhenti. Dia menoleh padaku dan mempertanyakan sikapku yang tiba-tiba berhenti.

"Aku hanya bercanda, Bara." Dia melanjutkan langkahnya lagi dan membuka pintu. Seketika angin menerpa rambut panjang Zoe dan menerbangkannya. Dia berjalan menuju ke bangku yang berada di tengah-tengah rooftop. Tempat ini adalah tempat pertama kali aku melihatnya setelah dua tahun tidak bertemu.
Aku mengikuti langkahnya lalu duduk di sampingnya. Dia sedang membuka kotak makan, lalu mengulurkan satu padaku. Ada seporsi nasi, sayur dan lauk.

"Kamu memasaknya sendiri?" tanyaku.

"Apakah itu terlihat seperti makanan di restoran?" Dia malah balik bertanya dan membuatku tertawa. Aku mengambil sendok dan mulai memakannya. Saat lidahku mengecap untuk pertama kali, aku merasakan rasa asin yang cukup menyiksa lidah, namun aku memilih untuk menelannya.

Zoe menatapku dengan matanya yang berbinar. Dia mengawasi setiap kali aku menelan sesuap nasi dan sayur.

"Kenapa kamu tidak makan lauknya?" tanyanya saat menyadari aku tidak menyentuh ikan.

Tanpa menjawabnya, aku langsung menyendok dan mengarahkan sendokku padanya. Dia membuka mulutnya dan menguyahnya. Seketika wajahnya berubah. Dia langsung mengambil tissue dan mengeluarkan makanan yang aku suapkan. Setelah membuangnya ke tempat sampah, dia langsung mengambil botol air mineral dan meminumnya hingga separuh.

"Kenapa kamu tidak bilang?" Dia langsung mengambil kotak makan yang aku pegang, namun aku mempertahankannya.

"It's okay. Sayur dan nasinya masih bisa dimakan."

Dia terlihat cemberut, lalu duduk di sampingku. "Aku memang tidak berbakat dengan urusan dapur." Gumamnya.

"Setidaknya kamu sudah mencoba." Aku menghabiskan sisa makanan yang ada di kotak makan. "Dan aku menghabiskannya." Aku menunjukkan kotak makan yang sudah kosong.

"Aku malu padamu." Zoe masih cemberut.

"Aku yang malah berterimakasih padamu. Kamu datang membawa makanan saat aku benar-benar lapar." Tanganku menepuk punggung tangannya. Dia menoleh padaku. Matanya yang berbinar menjadi redup karena dia merasa kecewa pada dirinya sendiri.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang