Satu hari. Dua hari. Hingga satu minggu berlalu. Setiap hari, aku lewati dengan terus berada di sisi Zoe. Aku menemaninya melewati masa-masa setelah operasi. Meski dokter bilang kalau operasi berjalan dengan baik dan Zoe hanya perlu menjalani masa pemulihan, aku tetap saja tidak ingin sedikitpun lepas darinya. Mulai dari Zoe bangun tidur, makan atau dia ingin berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, aku selalu menemaninya. Seperti sore ini, saat dia ingin keluar dari kamarnya dan menghirup udara segar di luar, aku membantunya menyusuri lorong dan berakhir di taman rumah sakit.
“Senang sekali, bisa melihat hujan lagi.” ujarnya. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang masih mendung, meski hujan sudah turun lebat sebelumnya.
Aku yang duduk di sampingnya hanya menatapnya. Ada sebuah kegetiran dari ucapannya. Apakah dia sempat berpikir kalau jantungnya akan berhenti berdetak? Aku menggerakkan tanganku untuk menyentuh tangannya yang berpangku di pahanya.
Dia tersenyum merasakan genggamanku. “Tetapi, aku selalu bersyukur kalau aku memilikimu hari ini, meski mungkin aku harus mengetuk pintu surga keesokan harinya.”
“Jangan bilang begitu. Kamu masih akan punya banyak waktu denganku. Dan aku akan selalu menggenggam tanganmu seperti ini.” Genggaman tanganku semakin erat padanya. Di dalam hatiku sekarang, aku sedang menahan sakit luar biasa. Entah kenapa, meski operasi berjalan lancar, aku masih khawatir dengan kondisinya. Penyakit di jantung manusia selalu seperti Gunung Es. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi keesokan harinya, meski sekarang terlihat baik-baik saja.
“Kamu ingat saat aku bernyanyi di Bar malam itu?” tanya Zoe kemudian.
“Hmm.”
“Itu adalah satu keputusan paling tepat yang pernah aku ambil. Karena aku sebenarnya tidak ada jadwal hari itu. Suasana hatiku sedang buruk malam itu, sehingga aku mendatangi bar. Dan karena aku melihat panggung kosong, aku naik saja. Ternyata ada seorang laki-laki yang duduk di pojok dan sepertinya sedang terpana padaku.” Bibir Zoe tidak henti-hentinya tersenyum menceritakannya.
“Malam itu, aku sedang lelah belajar. Jadi, ingin mencari udara segar dengan berjalan-jalan ke bar. Ternyata aku harus bermalam di rumah sakit dan pergi ke kampus tanpa mandi keesokan harinya.” Ceritaku.
Zoe tertawa mendengarnya.
“Aku mau tanya satu hal padamu. Apakah kamu melakukan sesuatu yang lain padaku selain mendekatkan wajahmu itu? Karena aku seperti merasakan yang lain.”
“Menurutmu apa yang aku lakukan?” Zoe malah balik bertanya. Matanya tampak berbinar lagi sekarang.
“Memegang tanganku, mungkin?”
Dia akhirnya tertawa. “Bagaimana kamu tahu?”
“Karena saat memegang tanganmu pertama kali, aku seperti merasakan dejavu.”
“Apakah seperti ini rasanya?” Zoe mengubah posisi tanganku yang sedang menggenggamnya, lalu menyisipkan jari-jarinya di antara jari-jariku.
“Ya. Rasanya selalu sama.”
“Aku tidak tahu kenapa aku ingin melakukannya malam itu. Saat melihatmu tidur di sampingku, itu adalah pertama kalinya aku merasakan hatiku bergetar karena seorang laki-laki. Dan aku menggenggam tanganmu sebagai percobaan apakah aku merasakan apa yang orang sebut ‘butterflies in your stomach’.”
“Apakah kamu merasakannya?”
“Ya. Aku merasakannya. Dan saat itu, aku sudah ingin memilikimu, meski aku tahu kalau itu adalah pertemuan pertama kita berdua. Aku tidak tahu apakah ini yang orang sebut jodoh ataupun takdir. Yang aku tahu, kamu adalah alasanku enggan meninggalkan New Haven.”
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day We Had
RomantizmAku tidak pernah berpikir kalau takdir akan membuatku bersinggungan dengan perempuan bernama Zoe. Membawaku pada keputusan-keputusan besar, termasuk mengakhiri pertunanganku dan memilih menikahinya. Namun, aku tidak pernah menyesali setiap waktu yan...