13. Broken Into Pieces

149 19 0
                                    

Beberapa orang tampak hilir mudik dengan tas ransel dan juga buku di tangan mereka. Pemandangan ini mengingatkanku dengan masa kuliahku dulu. Aku berjalan menyusuri lorong yang ramai, hingga akhirnya sampai pada ruangan yang berada paling ujung. Aku mendekati pintu dan melihat ke dalam melalui kaca yang berada di pintu. Di dalam, seorang perempuan sedang sibuk menjelaskan dan beberapa mahasiswanya tampak mendengarkan. Perempuan itu terlihat antusias sekali. Dan matanya sudah berbinar lagi. Aku mengamati setiap pergerakannya hingga akhirnya kelas selesai.

Pintu terbuka dan mahasiswa-mahasiswa mulai berhambur keluar kelas, menyisakan dosennya yang masih membereskan barang-barangnya di dalam kelas. Setelah kelas sepi, aku berjalan masuk ke dalam kelas. Langkah kakiku pelan dan mataku masih tidak mau lepas dari pandangan perempuan itu. Dia mungkin tidak menyangka aku akan mendatanginya di tempat kerjanya.

Bibirku tersenyum saat berada di dekatnya. Dia pun membalasnya, meski singkat. Setelah itu, dia melanjutkan aktifitasnya membereskan berkas-berkas di mejanya.

“Bagaimana kabarmu?” tanyaku.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.” Dia menjawabnya tanpa menoleh padaku.

“Syukurlah.”

“Kalau kamu kesini hanya untuk memastikan aku baik-baik saja, kamu bisa pergi sekarang.” ucapnya lagi. Dia meraih tas tangannya dan juga berkas-berkasnya, bersiap meninggalkan kelas.

“Aku merindukanmu.” ucapku kemudian. 

Dia menghentikan langkahnya. Pandangannya kemudian tertuju padaku. Tatapan matanya tajam.

“Aku benar-benar merindukanmu. Jadi, bisakah kita bicara sebentar?” ucapku lagi karena dia tidak merespon ucapanku sebelumnya.

“Kita bicara di depan.” balasnya kemudian. Dia lalu berjalan keluar kelas dan aku hanya mengikutinya. 

Selama menyusuri lorong, aku hanya berjalan mengekor di belakangnya. Dia pun juga hanya berjalan lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun padaku. Namun, apa yang terjadi cukup menyita perhatian beberapa mahasiswa yang berada di lorong. Telingaku sempat mendengar kalau mereka berbisik tentang apakah aku pacarnya ibu dosen cantik. Aku tertawa sendiri mendengarnya. Apakah di sini dia dijuluki sebagai ‘ibu dosen cantik’?

Langkah kakinya akhirnya berhenti saat kami sampai di taman kampus. Dia duduk di salah satu bangku besi yang kosong. Aku juga mengikutinya dan duduk di sampingnya. Pandanganku beredar di seluruh taman. Tempat ini cukup nyaman karena pohon-pohon yang rimbun. Juga rumput-rumput hijau dan beberapa bunga di sisi-sisi jalan setapak. Dia sepertinya sering ke tempat ini. Karena suasana di sini seperti yang selalu dikatakannya, bunga-bunga bermekaran di musim semi.

“Apa yang ingin kamu katakan?” Zoe sepertinya tidak ingin berbasa-basi.

“Seperti yang aku katakan tadi, aku merindukanmu dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Sahutku.

Zoe menoleh padaku dan menatapku dengan kesal.

“Aku hanya berusaha jujur. Bukankah itu yang kamu inginkan?”

Zoe tidak menyahut. Dia pasti sangat kesal padaku. Tetapi, itu adalah ucapan paling jujur yang aku katakan dari hati. Selama lebih dari satu bulan aku menahan rinduku. Berpura-pura setiap harinya kalau aku baik-baik saja, padahal kenyataannya yang aku rasakan hanya sakit luar biasa di dalam hati.

“Kamu pasti sering duduk di bangku ini. Menikmati bunga-bunga yang bermekaran itu dan merasakan matahari yang bersinar itu seperti matahari di musim semi.”

“Kamu masih mengingatnya?”

“Ya. Tentu saja aku masih mengingatnya. Aku bahkan tidak bisa lupa semua hal yang terjadi di antara kita sejak pertemuan pertama itu.”

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang