2. Someday We Will Meet Again

368 35 0
                                    

Siang ini, matahari bersinar cerah, meski semalam hujan salju turun lagi hingga dini hari. Bahkan, tumpukan salju masih berada di sisi-sisi jalan. Dalam beberapa hari ini, salju memang lebih sering turun dan membuat hawa dingin semakin membekukan tubuh. Di depan perpustakaan ini, beberapa pohon juga masih tertutup salju. Aku melangkah memasuki perpustakaan kampus sembari membawa tiga tumpukan buku tebal di tangan. Di pundakku, juga menggantung ransel yang berisi buku catatan dan sebuah laptop. Ada essay yang harus dikerjakan. 

Saat di dalam perpustakaan, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari meja kosong. Mataku berhenti pada sebuah meja yang tampak sepi. Hanya satu orang yang sedang duduk dan tampak membaca buku. Aku berjalan menuju meja itu dan meletakkkan barang-barang yang aku bawa di atas meja dengan pelan. Di dalam perpustakaan ini tidak boleh membuat suara apabila tidak ingin menjadi pusat perhatian. Aku membuka laptop dan mulai menyalakannya. Setelah mencari file essay yang aku simpan sebelumnya, aku mulai membaca ulang dan mengoreksi beberapa kata. Sesekali, aku membuka buku-buku yang aku bawa untuk menambah literatur yang harus dicantumkan ke dalam essay. Aku menghentikan aktifitasku dan melirik ke arah orang yang sejak tadi diam tidak bergerak di kursinya. Dia duduk di depanku dan sedikit ke samping kiri. Buku yang ada di depannya juga tidak pindah halaman sejak tadi. Aku mulai mengamatinya dan ternyata dia tidur. Napasnya teratur dan matanya terpejam. Semakin aku mengamatinya, aku semakin bisa mengingat siapa orang ini. Dia adalah perempuan yang pergi tanpa pamit setelah aku tolong beberapa waktu lalu. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah dia juga mahasiswa di sini? tanyaku dalam hati.

Sesuatu terbersit di dalam pikiranku. Aku menyobek kertas kosong di buku catatanku, lalu membuat bulatan kecil. Dengan secepat kilat, aku melemparkannya ke arah perempuan itu dan mengenai keningnya. Dia langsung terjaga dan aku berpura-pura fokus pada layar laptopku. Aku sempat meliriknya yang mengambil bulatan kertas di depannya dan melihat ke arahku. Matanya mendelik dan bibirnya cemberut menatapku. Namun, mata bulat itu meredup dan bibirnya tertarik ke samping. Dia bahkan menggeser duduknya hingga di depanku.

Thank you for your help that night.” Ucapnya berbisik.

Dia sepertinya mengenaliku. Tapi, bagaimana dia tahu aku yang membawanya ke rumah sakit? Apakah dia sempat bangun saat malam dan melihatku?

Indonesian?” tanyanya lagi sebelum aku sempat membalas ucapannya. Dia mungkin melihat buku catatanku yang menggunakan bahasa Indonesia.

Aku mengangguk. 

“Aku juga.” Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Indonesia.

“Senang bertemu teman satu kampung halaman di sini.” Bibirnya tersenyum lebar dan membuat lesung pipinya terlihat. Matanya tampak berbinar saat tersenyum seperti itu.

“Apakah kamu sudah baik-baik saja?” tanyaku kemudian.

Dia mengangguk. “As you see.”

Aku ikut tersenyum. Syukurlah dia baik-baik saja.

“Bagaimana kalau kita minum kopi di luar? Tidak nyaman berbicara dengan berbisik.” Ucapnya lagi.

“Tapi aku sedang mengerjakan essay.”

“Tinggal saja di sini. Tidak akan ada yang mengambil buku-buku itu.”

Ajakan perempuan itu berhasil membuatku beranjak dari kursi dan membersihkan laptop dan juga buku-bukuku. Aku mengikuti langkah perempuan itu menuju ke kafe yang berada di bagian samping perpustakaan.

Dia tampak berbeda dengan penampilannya beberapa waktu lalu. Kemeja flannel, celana jeans dan sepatu boot, juga rambut pendeknya yang tanpa ditutupi topi kali ini. Sekilas, dia mirip laki-laki dari belakang.

Aku mengulurkan gelas kopi berisi americano pada perempuan yang sedang memainkan rambutnya di sudut kafe. Perempuan itu tersenyum dan menerimanya.

“Aku Baruna atau Bara. Terserah kamu memanggilnya apa. Aku kira kita belum berkenalan dengan benar.” Aku mendahului untuk memperkenalkan diri.

“Zoe.” Sahutnya singkat. Dia menyeruput americano di tangannya. Akupun melakukan hal yang sama. Rasa hangat langsung menjalar di dalam tubuhku.

“Sudah lama di Yale?” tanyanya.

“Baru satu tahun. Aku menempuh pendidikan dokter.”

“Ooh, seorang dokter.” Dia mengangguk-angguk.

“Aku mengambil jurusan Social Science. Sebenarnya, aku sudah selesai menempuh pendidikan sejak satu bulan yang lalu, tetapi aku masih enggan pulang. Jadi, aku baru akan pulang minggu depan.”

Aku yang sekarang mengangguk-angguk. 

“Rumahmu dimana? Jakarta? Bandung? Atau mana?” tanyanya lagi. 

“Jogjakarta.”

“Aah, pantas saja cara bicaramu sopan.”
Aku tersenyum mendengarnya. Tentu saja bicaraku sopan saat bertemu orang yang baru kenal. Andai saja dia tahu bagaimana saat aku marah dan mengutuki Anthony dengan bahasa jawa.

“Kenapa kamu enggan pulang?” Aku memberanikan diri bertanya tentang sesuatu yang pribadi. Dia tampak memiliki beban saat mengatakannya.

I don’t know. Mungkin aku takut kehilangan hidupku di sini. Kebebasanku.” Dia tersenyum saat mengatakannya. 

Aku mengamati wajahnya saat mengatakan itu. Dia jelas menyimpan sesuatu dari senyumannya. Bibirnya memang tersenyum, tapi matanya sama sekali tidak berbinar seperti saat tadi di dalam perpustakaan.

“Oh, ya. Bagaimana kamu tahu aku yang menolongmu?” Pertanyaan yang sejak tadi aku simpan akhirnya aku ucapkan.

Dia tersenyum lagi. Zoe tampaknya senang sekali tersenyum dan memamerkan lesung pipinya dan giginya yang berderet rapi, 
“Aku bangun malam itu dan melihatmu tertidur pulas di sampingku. Kamu bahkan tidak bangun, saat aku mendekatkan wajahku pada wajahmu sedekat ini.” Zoe bangun dari duduknya dan mendekatkan wajahnya pada wajahku hingga hanya berjarak sejengkal. Aku bahkan bisa mencium aroma vanila dan cedarwood dari tubuhnya. Di saat yang sama, aku bisa merasakan jantungku berdetak cepat, tanpa bisa dikontrol. Aku langsung memundurkan tubuhku untuk menghilangkan kegugupan ini.

Zoe yang menyadari juga langsung mundur dan duduk lagi. “Sorry.”

Aku meraih americano di meja dan meminumnya hingga hampir habis. Semoga detak jantung yang kacau ini bisa normal kembali dengan kafein yang aku minum.

I think I should go.” ucap Zoe setelah melihat ke arah jam tangannya. Dia mengucapkan terima kasih sekali lagi padaku sebelum akhirnya berjalan pergi. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Namun, pandanganku sama sekali tidak lepas darinya. Perempuan yang berjalan dengan riang itu, mungkin setelah ini aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Minggu depan, dia akan pulang ke Indonesia. Entah di mana dia tinggal di sana, aku lupa menanyakannya tadi.

Semakin lama, bayangan Zoe tidak lagi terlihat. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa merasa kehilangan seseorang yang baru saja aku temui? Kenapa dia terasa seperti sudah melekat erat di dalam pikiranku hingga aku merasa sesedih ini?
Aku meraih tas ranselku dan membawanya masuk kembali ke dalam perpustakaan.

-00-

Salju turun dengan lebat lagi malam ini. Jalanan sudah hampir tertutup salju tebal. Televisi pun menyiarkan tentang beberapa kendaraan yang terjebak salju yang menggunung. Aku masih duduk menghadap ke jendela kaca dan menatap salju-salju di luar kamar. Pikiranku sedang tertuju pada perempuan bernama Zoe yang aku temui di perpustakaan seminggu yang lalu. Entah kenapa sejak pertemuan itu, dia berhasil mengambil sebagian duniaku. Aku bahkan sering bertanya-tanya apakah aku akan bertemu dengannya lagi. Aku juga sering menghabiskan waktu di perpustakaan atau bar tempat aku bertemu dengannya, sembari berharap akan pertemuan lagi. Tetapi, aku tidak pernah melihatnya. Hari ini, mungkin dia benar-benar sudah kembali ke Indonesia.

Lalu, apakah pertemuan tidak sengaja itu akan terulang lagi di Indonesia? Apakah takdir kami berdua akan bersinggungan lagi dalam pertemuan yang tidak terduga? Aku tidak tahu kenapa diriku jadi seperti ini. Tidak seharusnya aku melakukan ini. Pandanganku beralih pada cincin yang tergeletak di meja. Aku seharusnya mengingat perempuan yang memakaikan cincin itu di jari manisku.

-00-

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang