8. Tentang Alessandra

193 21 0
                                    

Aku menarik koperku masuk ke dalam apartemen baruku. Tidak banyak barang yang aku bawa, karena aku mengatakan pada Ale kalau aku hanya tinggal sementara di tempat ini. 

“Dimana aku harus meletakkan koper ini?” tanya Ale. Dia ikut mengantarku pindah ke apartemen ini, meski dia sangat marah semalam. Tadi pagi, dia tiba-tiba mengetuk pintu kamarku dan meminta maaf atas sikapnya semalam. Dia mengatakan kalau dia akan membantuku pindah ke apartemen baruku, sekaligus dia ingin melihat tempat tinggal baruku. Aku pun menyetujuinya karena dia sudah sangat baik padaku. 

Seperti itulah Ale padaku. Semarah apapun dia padaku, dia akan selalu memaafkanku keesokan harinya. Kemarahan yang meluap-luap di matanya semalam, akan langsung berganti dengan mata yang menatap penuh cinta padaku keesokan harinya. Aku tahu seberapa besar perasaan Ale padaku dari sikapnya yang selalu ditunjukkannya padaku, tetapi Ale tidak pernah tahu bagaimana perasaanku padanya. Atau, dia sudah mengetahuinya namun bersikap seolah-olah tidak tahu.

“Aku akan membawanya ke kamar.”

“Kalau begitu, aku akan menata itu.” Ale menunjuk pada beberapa bungkusan plastik berisi bahan makanan. Entah kapan dia membelinya dan menyiapkannya, semua bungkusan itu, sudah ada di dalam mobil saat berangkat tadi.

Aku pun mengangguk saja, lalu menarik dua koper besar menuju kamar. Aku berpikir untuk langsung menata baju-bajuku ke dalam lemari besar di sudut ruangan. Sesekali, terdengar suara kegaduhan dari dapur. Entah apa yang sedang dilakukan Ale di sana. Hingga saat aku selesai menata baju, aku berjalan menuju dapur dan melihat lemari pendingin serta beberapa kabinet yang sudah terisi penuh dengan barang-barang.

“Kamu menyiapkan semuanya?” tanyaku dengan kagum.

“Aku hanya tidak ingin kamu melewatkan makanmu karena tidak ada lagi yang menyiapkan makanan.” Ale menatap hasil karyanya dan sedang memikirkan tentang barang-barang yang mungkin saja terlupakan.
Aku berjalan mendekatinya lalu melingkarkan lenganku ke pundaknya. Dari tempatku berdiri, aku bisa tahu kalau Ale sedang tersenyum. “Terima kasih karena sudah memperhatikanku.” ucapku.

“Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan memperhatikanmu?” balasnya. Aku tersenyum mendengarnya.

“Bagaimana kalau kita makan ramen di bawah? Kamu belum makan apapun sejak pagi.”

Ale menoleh ke arahku. “Apakah kamu mendengar perutku berbunyi?”

Aku tersenyum lagi. Tanganku melepaskan rangkulan. Lalu berjalan menjauh dari Ale “Tentu saja. Aku bahkan bisa mendengar jantungmu berdetak cepat.”

Ale tertawa terbahak, lalu dia mengejarku dan langsung melingkarkan lengannya di leherku seolah minta digendong belakang.

“Kamu mau aku gendong belakang?” tanyaku melihat sikapnya.

“Tidak. Nanti semua orang iri melihatku.” Ale langsung turun dan berjalan mendahuluiku.

“Kenapa?”

“Bagaimana tidak iri kalau aku bisa memiliki seorang pria tampan dan sangat sayang pada tunangannya?” Ale mengerling padaku saat mengatakannya. Dia tampak bahagia. Tidak terlihat sama sekali kemarahannya seperti kemarin. Sementara aku malah terdiam mendengarnya. Seandainya saja dia tahu seperti apa isi hati pria yang dianggapnya sayang pada tunangannya itu.

Aku kemudian menghapus pikiran itu, lalu berjalan cepat menyusul Ale yang sudah lebih dulu sampai di depan lift. Tanganku merangkul pundaknya lagi. “Apa pedulinya jika mereka melihat pria tampan ini?”

Ale tertawa mendengarnya. Dia kemudian melepaskan rangkulanku dan memindahkan tanganku pada telapak tangannya. “Seperti ini lebih menyenangkan. Tanganmu selalu hangat.” Ucapnya saat menggenggam tanganku. Ucapannya selalu terdengar tulus dan membuatku semakin merasa bersalah dengan perasaanku.

Kami berdua lalu memasuki lift. Tidak ada yang bersuara di dalam lift meski tidak ada orang lain. Tangan Ale masih menggenggam erat tanganku seolah dia benar-benar takut kehilanganku, bahkan saat masuk ke dalam restoran Jepang, dia masih tidak melepaskannya. Tangannya baru terlepas saat kami duduk berhadapan dan dia memesan dua porsi curry ramen. Ale sudah tahu kesukaanku jadi aku tidak pernah memesan makananku sendiri. Kami berdua memang memiliki beberapa kesamaan pada pilihan makanan. Mungkin karena sudah lama bersama dan makan di tempat yang sama.

“Oh ya, aku sudah mengurus untuk proses jual belinya. Kapan kamu bisa pulang ke Jogja?” tanyaku sembari menunggu makanan.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku tidak perlu pulang karena hanya ada namamu di sertifikat itu. Aku membelikan rumah itu untukmu.” jawabku.

“Tapi, itukan rumah kita.”

“Anggap saja itu kado dariku.”

Ale tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Dia sangat senang saat pertama kali aku menunjukkan foto rumah itu. Dia bilang dia sudah menyukainya saat melihatnya dari foto. Keesokan harinya, aku langsung membayar uang muka untuk rumah dan akan membayar sisanya setelah ada proses jual beli di notaris. Penjual setuju dengan permintaanku. Dia percaya padaku karena aku adalah teman Anthony. Aku pun juga berpikiran sama dengannya.

“Kalau begitu, aku akan pulang sabtu ini, supaya prosesnya cepat selesai.”

Aku mengangguk saja. Rumah itu memang aku belikan untuk Alessandra. Jadi apapun keinginannya dengan rumah itu, aku serahkan padanya. Bahkan, kalau suatu saat dia ingin mengubah dekorasinya, aku juga tidak akan protes.

Dua porsi curry ramen sudah terhidang. Ale langsung mengambil sumpit dan memakannya dengan lahap. Dia memang sangat menyukai ramen terutama dengan kuah curry. Aku tersenyum melihatnya makan. Mataku mengamati semua hal yang dilakukan Alessandra. Dia selalu ceria sejak dulu. Meskipun menangis, aku adalah orang yang akan menghapus airmatanya dan membelikannya ice cream supaya dia berhenti menangis. Namun sekarang, aku justru menjadi laki-laki jahat yang akan selalu membuatnya menangis. Aku yang akan menjadi penyebab sakit hatinya. Dan aku tidak tahu, apakah dia bisa memaafkan aku.

-00-

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang