4. Kamu di Ingatanku

219 21 0
                                    

Mataku mengeriyip saat sinar matahari mengenai wajahku dari jendela kamar. Aku mengulat di tempat tidur, sebelum akhirnya menyeret kakiku keluar kamar. Tidak ada siapapun di rumah. Mungkin, Ale sudah berangkat karena sekarang sudah pukul 9 pagi. Aku berjalan menuju ke lemari pendingin dan mengambil air mineral. Setelah meminumnya hampir setengah, aku membaca pesan yang ditulis Ale dan ditempelkan di pintu lemari pendingin. Dia bilang, dia sudah menyiapkan sarapan untukku di meja makan. Aku berjalan menuju meja makan dan membuka penutup. Ada tumis sayuran dan empal daging. Mungkin, aku akan mandi dulu sebelum memakannya. 
Langkah kakiku cepat saat mendengar ponselku berbunyi. Nama Anthony tertera di layar. Dia pasti sudah mencari file yang aku minta.

“Halo.”

“Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Aku sudah mencari pasien dengan kardiomiopati.”

“Oke. Aku kesana sekarang.”

Telepon ditutup. Aku segera bergegas mandi dan berangkat ke rumah sakit. Ingatan untuk makan makanan yang sudah disiapkan Ale tersingkir begitu saja.

-00-

Setumpuk file pasien sudah tergeletak di mejaku. Anthony juga sedang duduk di depanku sembari meminum jus. Aku membuka file satu persatu karena tidak ada nama Zoe sama sekali. Menurut Anthony, perempuan itu tidak menggunakan nama asli saat mengenalkan dirinya padaku.

Seluruh file sudah aku periksa dan memang tidak ada nama Zoe di dalam. Aku menghempaskan napas dengan kesal. Satu-satunya harapanku untuk tahu tentang Zoe pupus sudah.

“Apa kamu yakin dia pasien di sini?” tanya Anthony lagi. Dia sudah menanyakan hal yang sama hampir sepuluh kali sejak tadi. Dan responku tetap sama, diam. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi. Pandanganku kosong pada tembok putih yang mengelilingi ruangan.

“Haruskah kamu melakukannya? Maksudku, dia hanya perempuan yang ‘numpang lewat’ dalam hidupmu. Bukankah kamu sudah akan menikah beberapa bulan lagi?” tanyanya lagi.

“Aku belum menentukan tanggalnya.” Sahutku pelan. Aku memang belum menentukan tanggal pernikahanku dengan Ale, karena aku masih ragu dengan perasaanku sendiri. Selama ini, aku selalu menyayangi Ale melebihi apapun. Bagiku, dia adalah orang yang penting dalam hidupku. Tetapi, kasih sayang itu terasa seperti kasih sayang seorang saudara. Aku tidak memiliki hasrat apapun padanya. Aku bahkan belum pernah menciumnya.

“Maksudku kenapa kamu tidak mencoba serius dengan perasaanmu pada Alessandra? Daripada terus memikirkan perempuan yang tidak jelas. Alessandra is a good girl. Very good girl.”

I know. But, love isn’t about good or bad. You know about what people said, butterflies in your stomach? Aku bahkan tidak merasakan apapun pada Ale. Lalu, bagaimana aku bisa menikah dengannya?” bantahku. Aku mengusap wajahku dengan kasar.

“Tapi, kamu bertunangan dengannya. Dan berjanji akan menikahinya. I thought you should never forget that. And she calls you.” Anthony menunjuk pada ponselku yang berbunyi. Nama Ale tertera di layar.

Aku meraih ponselku. “Halo.”

“Hai. Kamu tidak sarapan tadi? Aku baru saja pulang dan makanan masih utuh.”

“Aah, maaf. Tadi ada pasien yang membutuhkanku.” Aku mengutuki diriku sendiri yang terus berbohong pada Ale. 

Ale hanya berdeham. “Lalu, apakah kita jadi makan malam?”

“Iya. Apakah kamu bisa naik taksi kesana? Aku akan langsung kesana setelah memeriksa pasien.”

“Okay. Aku siap-siap.”

Ku letakkan ponselku lagi di meja. Anthony sudah pergi. Aku menatap ke tumpukan dokumen pasien yang tergeletak di meja. Dari semua pasien kardiomiopati, kenapa dia tidak ada di dalamnya? Haruskah aku memeriksa seluruh dokumen pasien di rumah sakit ini? Apa yang sebenarnya dia lakukan di atap rumah sakit? Kenapa dia harus menangis di sana?
Kedua tanganku tertangkup dan menutup wajahku. Kepalaku terasa berat memikirkannya.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang