10. Rahasia Yang Terungkap

183 19 0
                                    

Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah Zoe yang tertidur pulas di sampingku. Bibirnya bahkan menyunggingkan senyum meski dia sedang tertidur. Ingatan tentang apa yang terjadi semalam berputar ulang di otakku dan aku merutuki diriku sendiri karena telah berbuat terlalu jauh. Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan memakai baju yang aku pakai semalam. 

“Kamu mau pulang?” Suara Zoe terdengar malas. Dia masih berbaring dan matanya juga masih mengeriyip.

“Ya. Aku harus ke rumah sakit.” Jawabku sambil memakai kemeja.

“Apakah nanti malam kita bisa bertemu lagi?” tanyanya.

“Aku akan menghubungimu nanti.”

Aku berjalan menghampirinya lalu mengecup keningnya. “Aku pergi dulu.” 

Zoe hanya mengangguk dan melihatku berjalan keluar dari kamarnya. Langkah kakiku cepat menuju ke pintu lift. Meski yang aku rasakan adalah kebahagiaan luar biasa semalam, namun tetap saja aku tidak bisa menghapus penyesalan yang aku rasakan sekarang. Semakin lama, aku semakin tidak bisa mengendalikan hal yang aku lakukan dan aku tidak lagi bisa melangkah mundur. Sudah terlalu jauh. Hubunganku dengan Zoe sudah terlalu jauh dan aku harus bertanggung jawab dengan perbuatanku. Aku merasa kesal pada diriku sendiri. Dan sepanjang perjalanan ke apartemenku, aku terus merutuki diriku sendiri.

Tanganku meraih pegangan pintu apartemenku dan membukanya. Aku berjalan cepat masuk karena aku ada janji dengan pasien pagi ini. Langkah kakiku terhenti saat melihat Alessandra tertidur di sofa. Di meja ada sebuah kue ulang tahun yang mungkin sudah sejak semalam disiapkannya. Ya Tuhan, aku semakin mengutuki diriku sendiri melihat semua ini.

Aku berjalan pelan mendekati Ale, lalu berjongkok di depannya. Tanganku menyentuh rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Dia pasti ketiduran saat menungguku pulang. Badannya pasti sakit semua karena tidur di sofa semalaman. Ale membuka matanya saat aku menyentuh wajahnya pelan. Hal pertama yang dilakukannya adalah tersenyum. Dia sama sekali tidak terlihat marah meski aku sudah mengecewakannya karena tidak pulang semalam.

“Kamu sudah pulang?” Dia bangkit dari tidurnya. Mulai merapikan rambutnya sembari duduk bersandar di sofa.

“Kamu menungguku semalam?”

Ale hanya tersenyum tipis. “Aku meneleponmu tapi tidak bisa tersambung.”

“Aah, ponselku kehabisan baterai. Maafkan aku.” Aku berbohong lagi padanya. Aku memang sengaja mematikan ponselku semalam.

“Aku juga sih yang salah karena tidak menghubungimu lebih dulu. Aku tidak tahu kalau kamu harus berada di rumah sakit semalaman.” Dia tampak menyesal dan itu membuatku semakin merasa bersalah padanya. Entah bagaimana caranya, aku bisa menebus kesalahanku padanya nanti.

“Kamu tidak salah, Ale. Kalau kamu menghubungiku lebih dulu, itu berarti bukan surprise. Bagaimana kalau kita merayakan ulang tahunnya sekarang? Aku akan mandi lebih dulu.” Tawarku untuk menghiburnya.

“Baiklah. Aku juga akan menyiapkan sarapan untukmu.”

Aku mengangguk lalu beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamarku. Pintu kamar aku tutup rapat. Aku menyandarkan tubuhku pada pintu. Ada rasa sakit yang terasa di hati saat melihat sikap Ale tadi. Aku telah menyakiti Ale dengan sangat dalam. Aku sudah mengkhianatinya tanpa disadarinya. Rasanya, aku semakin tidak bisa lagi melakukannya. Aku tidak mungkin menyakitinya terus menerus.
Ponselku berbunyi dan menggugahku dari lamunan. Aku mengambil ponsel dari saku celana dan membaca pesan yang masuk. Dari Zoe.

Apakah kamu sudah di rumah?  Aku sudah merindukanmu sekarang.

Hatiku semakin terasa sakit setelah membacanya. Pikiranku kacau. Di antara mereka berdua, siapa yang harus aku pilih? Aku bahkan tidak bisa menyakiti salah satunya. Zoe adalah orang yang sangat aku cintai dan ingin sekali aku miliki. Tapi Alessandra, aku bahkan tidak akan sanggup untuk menyakitinya.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang