19. Be Alright

105 12 0
                                    

Langkah kakiku lambat melewati beberapa orang yang hilir mudik di lorong rumah sakit. Ada perasaan ragu yang terus bercokol di hatiku, meski aku sudah menguatkan tekadku sejak beberapa hari yang lalu. Hingga akhirnya, langkah kakiku terhenti tepat di sudut lorong. Aku menyembunyikan diriku di balik tembok. Sementara pandanganku tidak beralih dari dua orang yang sedang berjalan menyusuri lorong. Keraguan yang tadi aku rasakan berubah menjadi rasa bersalah yang besar. Tanganku mengepal erat menahan perasaan itu. Semakin dekat dua orang itu ke arahku, aku memilih untuk bersembunyi di balik tembok dan memalingkan wajahku agar mereka tidak melihatku saat melewatiku. Sampai kedua orang itu melewatiku, aku akhirnya memberanikan diri untuk menatap punggung mereka hingga menghilang ke dalam sebuah kamar. Sesuatu menggerakkan kakiku untuk berjalan menyusulnya dan berhenti tepat di depan pintu. Aku melihat ke dalam kamar dari balik kaca kecil di pintu. Perempuan yang membawa tiang infus tadi akhirnya berbaring di tempat tidurnya. Wajahnya terlihat pucat dan dia jauh lebih kurus dari terakhir aku menemuinya beberapa bulan yang lalu.

“Bara.” 

Seseorang menepuk punggungku, dan membuatku tersentak. Aku langsung menoleh ke belakang dan menemukan perempuan yang sudah lama sekali tidak aku temui. Hellena, teman dekat Alessandra.

Dia menatapku dengan tatapan bertanya-tanya. Dan aku menjadi gugup karena ketahuan berada di Jogja.

“Mau bicara sebentar?” tanya Hellena yang aku jawab dengan anggukan saja. Hellena lalu berbalik dan berjalan menyusuri lorong rumah sakit, hingga berhenti di bangku yang berada di bagian luar rumah sakit. 

Sebuah pohon rimbun menghalau sinar matahari yang menyengat ke arah bangku dan memberikan hawa sejuk. Tapi, entah kenapa hatiku masih terasa panas.

Aku duduk di samping Hellena dan masih tidak mengatakan apapun. Ada begitu banyak yang ingin aku tanyakan padanya, namun aku merasa tidak pantas untuk menanyakannya sehingga aku memilih untuk menahannya.

“Aku sudah mendengar dari Ale.” Hellena memulai pembicaraan.

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan Hellena, meski kalimatnya terdengar ambigu.
“Aku tidak akan menanyakan alasanmu melakukannya, karena setiap orang memiliki pemikiran yang tidak bisa disamakan dengan yang lain. Aku yakin kamu sudah memikirkan dengan matang keputusanmu, karena kamu adalah orang yang tidak pernah gegabah saat memutuskan sesuatu. Tetapi, bisakah kamu setidaknya peduli sedikit saja pada Ale? Dia juga pernah menjadi bagian hidupmu.”

Hellena selalu terdengar seperti seseorang yang sangat bijak dalam melihat sesuatu. Aku mengenalnya sejak lama karena dia berteman dengan Ale sejak masih SMA. Dia pun juga sudah mengenalku. Mungkin, itulah kenapa dia berusaha menjadi orang yang netral di antara kami berdua.

“Aku tahu, Len. Aku datang kesini karena aku mengkhawatirkannya.”

“Setelah beberapa bulan, kamu baru ingat dengan Ale.”

Perkataan Hellena terdengar sinis. Aku sadar kalau dia pasti kecewa dengan sikapku. Tetapi, aku juga tidak ingin menjelaskan alasanku baru datang ke Jogja setelah beberapa bulan. Aku pikir, aku tidak perlu mengatakan tentang sakit yang Zoe derita dan membuatku harus terus bersamanya. Kedatanganku hari ini juga karena Zoe yang meminta. Dia terus meyakinkanku kalau dia sudah baik-baik saja untuk ditinggal sendiri di apartemen setelah 2 minggu pulang ke Indonesia.

“Bagaimana keadaan Ale? Kenapa dia sampai harus dirawat di rumah sakit?” Aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

“Dia tidak pernah mau makan dan hanya mengurung diri di kamar, hingga mengalami dehidrasi akut. Dia juga harus menjalani konseling untuk beberapa waktu.”

Rasanya sakit sekali mendengarnya. Perbuatanku telah menghancurkan hidup Alessandra. Dan aku semakin yakin kalau aku tidak akan pernah dimaafkan di keluarganya. Aku mengusap wajahku kasar.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang