12. Rindu

146 21 1
                                    

Semilir angin menerbangkan rambutku yang kering tanpa pomade. Juga, beberapa rambut Zoe yang tidak ikut terikat. Kami duduk berdua lagi di rooftop rumah sakit. Sepertinya, tempat ini meninggalkan begitu banyak cerita tentang kami berdua. Sudah lima belas menit kami duduk bersebelahan di bangku besi, namun tidak ada satupun yang berbicara.

Tadi siang, Zoe mengatakan ingin bertemu denganku. Dia tidak mengatakan alasannya ingin bertemu, tetapi aku tahu kalau sekaranglah waktunya untuk menjelaskan padanya. Aku memilih untuk bicara jujur padanya, apapun yang ditanyakannya.

“Semakin aku memikirkannya, aku semakin tidak bisa memahamimu.” Kalimat pertama yang Zoe ucapkan. Dia berhenti sejenak lalu melanjutkannya, “Selama ini aku beranggapan kalau cinta yang kamu tunjukkan itu nyata. Tapi, saat aku melihat cincin itu, aku bertanya-tanya lagi, kenapa kamu sangat baik padaku? Apakah kamu hanya mengasihaniku karena penyakitku?”

Pandangannya masih tertuju pada langit yang memerah di ujung barat sana. Belum sempat aku menjawab ucapannya, Zoe melanjutkan lagi. “Tapi, seperti itukah rasa kasihan? Caramu memelukku, menciumku dan apa yang kita lakukan malam itu, apakah itu hanya bentuk kasihan? Atau aku hanyalah bentuk pelarianmu dari pertunangan yang tidak sesuai keinginanmu."

Aku menoleh pada Zoe. Matanya redup. Tidak ada senyum pula di bibirnya. Wajahnya bahkan masih terlihat pucat.

“Apakah aku boleh menjelaskannya?”

Zoe tidak menyahut. Diamnya menunjukkan kalau dia memberiku waktu untuk menjelaskan.

“Aku memang sudah bertunangan dengan Alessandra sebelum berangkat ke Yale. Dia adalah perempuan pertama yang dekat denganku dan keluarganya sudah seperti keluargaku saat aku tidak memiliki siapapun di dunia ini. Selama ini, aku selalu menganggap Ale sebagai adikku dan Papanya sebagai Papaku sendiri. Aku melanjutkan sekolah sampai seperti ini juga karena bantuan mereka. Lalu, saat Papanya memintaku untuk menikah dengan anak semata wayangnya, aku juga tidak bisa menolaknya. Meski hatiku berat dan tidak mempunyai perasaan cinta sedikitpun pada Ale, aku akhirnya setuju dengan pertunangan itu. Setelah itu, aku berangkat ke Yale dan bertemu denganmu malam itu.”

Aku berhenti sejenak. Menghela napas panjang, lalu melanjutkan lagi.

“Pada awalnya, aku tidak merasakan apapun. Aku hanya mengkhawatirkan kondisimu yang pergi dari rumah sakit tanpa mengatakan apapun. Lalu, saat pertemuan kedua di perpustakaan, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bahkan, setelah dua tahun berlalu, hatiku masih merasakan hal yang sama saat bertemu denganmu lagi. Hingga akhirnya, kamu membuatku sadar kalau aku sedang jatuh cinta. Aku mencintaimu tanpa aku sadari lalu semuanya menjadi semakin rumit seperti sekarang.”

Zoe menoleh padaku. Matanya masih sama redupnya saat menatapku.

“Lalu, kalau kamu mencintaiku, apakah kamu akan meninggalkan tunanganmu dan bersamaku?”

Aku terhenyak mendengarnya. Pertanyaan Zoe adalah satu pertanyaan yang aku harapkan tidak akan pernah ditanyakan sekarang karena aku belum memiliki jawabannya. Aku tidak mungkin dengan serta merta akan meninggalkan Alessandra dan pergi seperti orang tidak tahu balas budi.

Zoe masih menatapku dan menungguku menjawab pertanyaannya.

“Aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Lalu, apakah aku adalah orang yang akan kamu tinggalkan begitu saja?”

Aku menggeleng. “Aku juga tidak bisa meninggalkanmu karena aku tidak bisa terus-terusan membohongi hatiku.

Zoe menarik napas panjang. “Lalu, apa yang kamu inginkan? Apakah kamu akan tetap berdiri di antara aku dan Alessandra? Tidak ada perempuan yang mau membagi laki-laki yang dicintainya.” Ucapannya terdengar kesal. Dia bahkan memalingkan wajahnya lagi dariku.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang