6. Bagaimana Sebenarnya Cinta?

160 24 0
                                    

Asap tipis keluar dari cangkir kopi yang berada di meja. Sepiring roti lapis juga masih utuh. Pandanganku tertuju pada layar ponsel. Berapa kali pun aku membaca pesan yang ada di dalam ponsel, aku tetap merasa kecewa. Kopi yang sangat aku inginkan karena mataku sulit terbuka tadi, tidak lagi menarik. Mataku sudah cukup bisa terbuka setelah membaca pesannya. Rasa lapar di perut juga sudah musnah begitu saja. Aku membaca ulang pesan dari Zoe.

Maafkan aku. Aku harus memajukan pesawatku pagi ini. Someday we will meet again.

Aku akhirnya beranjak dari tempat duduk dan menelepon Anthony, namun dia juga tidak segera mengangkat telepon dariku. Aku benar-benar merasa kesal. Langkah kakiku panjang-panjang menuju ke mobil yang terparkir di basement hotel. Pandanganku terhenti pada sebuah topi yang tergeletak di kursi penumpang. Ingatanku membawaku pada peristiwa kemarin siang saat Zoe memakai topi ini. Rasanya, hatiku berdesir lagi meski hanya memutar ulang memori bersamanya. Aku menarik napas panjang lalu menjalankan mobilku meninggalkan basement hotel.

Dalam perjalanan, aku masih sibuk dengan ponselku. Aku mencoba menghubungi nomor ponsel yang diberikan Anthony kemarin. Aku akan menemui orang yang menjual rumahnya di pinggiran kota. Untung saja, dia bersedia bertemu di luar jadwal yang ditentukan. Dia juga mengirimiku lokasi rumah yang dijualnya. Setelah hampir satu jam perjalanan, karena terlalu sering berputar, aku akhirnya sampai di depan sebuah rumah dengan pagar kayu tinggi.
Rumah dengan dominasi warna monokrom dan pintu serta jendela kaca, terlihat menarik apalagi ada kebun bunga di depan rumah. Seorang pria menyambutku dan mengatakan akan mengajakku berkeliling rumah. Aku berjalan masuk ke dalam ruang tamu yang tidak terlalu luas dan masih didominasi dengan warna monokrom. Lalu, kedalam lagi. Ada sebuah kitchen set dengan meja bar yang luas. Di depannya, ada sebuah kolam renang yang hanya berbatas jendela kaca. Di seberang sana ada ruang kosong, yang mungkin bisa diisi ruang keluarga. Pria tadi mengajakku ke lantai dua. Ada tiga kamar dengan kamar mandi di dalam. Rumah ini sangat mewah, batinku. Sembari berkeliling, aku mengambil gambar untuk ditunjukkan pada Ale. Dia pasti menyukai rumah ini.

Setelah selesai berkeliling rumah, aku mencoba menanyakan harga rumah dan bernegosiasi. Setelah menemukan harga yang pas, aku mengatakan akan menghubungi dalam waktu tiga hari. Aku harus menanyakannya dulu pada Ale karena rumah ini juga akan menjadi rumahnya.

Aku mengucapkan terimakasih pada pria tadi sebelum kembali ke mobil. Pandanganku tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku masih punya waktu 4 jam sebelum penerbangan. Lalu, aku harus kemana sekarang? Rasa kecewa kembali merambatiku mengingat Zoe meninggalkanku sendiri di sini.
Lamunanku terhenti saat mendengar ponselku tiba-tiba berdering.

"Kenapa, Bar?" tanya Anthony.

"Kamu di rumah sakit?" aku malah balik bertanya saat aku mendengar suara-suara dari telepon Anthony.

"Ya. Ada pasien yang tiba-tiba ingin bertemu."

"Aah. Aku sudah menemui temanmu. Mungkin, aku akan membelinya kalau Ale setuju."

"Baguslah. Aku tutup dulu teleponnya. Pasienku sudah datang."

Bara meletakkan lagi ponselnya di dashboard. Dia menjalankan mobilnya meninggalkan rumah mewah itu. Keinginannya untuk menceritakan pertemuannya dengan Zoe pada Anthony batal dilakukannya. Dia tahu Anthony pasti sedang bertemu pasien khususnya. Karena, dia tidak mungkin meluangkan waktu minggunya hanya untuk bertemu seorang pasien random.

-00-

Dengan langkah lelah, aku berjalan keluar dari pintu kedatangan Domestik bandara. Rasanya benar-benar lelah meski setelah dari rumah tadi aku hanya berkeliling Jogja untuk menghabiskan waktu. Tanganku menggenggam jaket yang semula aku pakai.

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang