9. Close To You

178 23 1
                                    

Mataku menyipit saat wajahku diterpa sinar matahari. Aku menghapus keringat yang mengalir di dahiku dengan handuk kecil yang aku bawa. Pandanganku beredar di sekitar taman untuk mencari bangku kosong, hingga berhenti di satu bangku yang berada di sudut taman. Aku duduk dan bersandar pada sandaran besi bangku dan mulai mengatur napasku yang naik turun dengan cepat setelah berlari-lari mengitari taman. Rasanya, sudah lama sekali tidak berolahraga sampai secapek ini. Tanganku membuka botol air mineral dan meminumnya sampai habis. Olahraga ini benar-benar membuang banyak cairan di tubuhku hingga terasa sangat haus.

Tanganku melepas earphone yang menggantung di telinga lalu mulai melihat pesan yang masuk. Salah satunya pesan dari Ale. Dia baru saja sampai di Jogja dan sudah dijemput Papanya. Lalu menggeser layar lagi dan menemukan pesan dari Zoe. Bibirku tertarik ke samping saat membacanya. Rasa lelah yang tadi terasa juga mendadak hilang, karena aku langsung bisa beranjak dari bangku dan berjalan kembali ke apartemen. Zoe ingin bertemu denganku siang ini. Dia menagih janjiku yang akan memasakkan makanan untuknya.

-00-

Mata yang berbinar itu lagi. Juga, senyum menawan yang menunjukkan lesung pipinya. Wajah sempurna itulah yang selalu ditunjukkannya di depanku. Bahkan, hanya dengan mencicipi seporsi pasta dengan saus blackpepper dan daging. Dia bahkan berkali-kali memuji masakanku. 

“Aku benar-benar kalah telak denganmu.”ujarnya setelah menghabiskan seporsi pasta. 

“Ini hanya pasta, Zoe. Bukan sesuatu yang sulit.”

“Tetap saja pasta bukan mie instan yang sudah ada takaran bumbunya.” Dia tersenyum lalu mengambil piring kotor dan membawanya ke dapur. 

Aku tertawa mendengarnya. “Mau aku bantu?”

Dia menggeleng. “Kamu bisa melakukan apapun selain membantuku mencuci piring. Anggap saja rumahmu sendiri.”

“Baiklah.” Aku berjalan menuju ke ruang tamu dimana ada sebuah televisi besar di depan sofa. Apartemen milik Zoe memang cukup mewah, bahkan apartemenku masih kalah jauh. Apartemen ini lebih mirip sebuah Penthouse karena sangat luas. Aku duduk di sofa yang nyaman lalu menyalakan televisi. Jariku menekan tombol remote tv untuk mencari channel yang bagus.

“Ini.” Zoe mengulurkan kaleng soda padaku lalu duduk di sampingku.

“Apartemenmu bagus.” Pujiku.

“Aku membelinya setelah menjual rumah Papa.” Dia menjawabnya dengan santai.

“Kenapa kamu menjualnya?”

“Terlalu banyak kenangan tidak menyenangkan.” Dia masih dengan santai menjawabnya, meski aku merasa ada yang tidak biasa dari jawabannya.

“Apakah hubunganmu buruk dengan Papamu?” tanyaku lagi.

Zoe menoleh padaku. Matanya tajam menatapku. Hingga aku merasa kalau pertanyaanku salah. “Apakah aku bisa sedekat itu denganmu sampai harus menceritakan masa laluku? Kalau kamu mengijinkannya, aku akan menceritakan semua tentang hidupku padamu.” 

Zoe tidak tampak sedang bergurau dengan ucapannya. 

“Kalau kamu merasa tidak nyaman, aku tidak akan memaksamu untuk bercerita.” Sahutku yang langsung membuatnya tersenyum.

“Ternyata kita tidak sedekat itu.” gumamnya nyaris tidak terdengar, namun aku tetap bisa mendengarnya. 

“Kamu mau nonton film?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Dia memindahkan channel TV dan berhenti pada film drama Ps I Love You.

Kami berdua diam dan sama-sama menatap ke layar TV. Tiba-tiba aku merasakan kepala Zoe bersandar pada pundakku, hingga aku bisa mencium aroma shampo di rambutnya. Dia bergumam pelan, “ They say that nothing last forever, but I am a firm believer in the fact that for some, love loves on even after we’re gone.”

One Day We HadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang