Terminal kedatangan Internasional ramai pagi ini. Aku melangkah keluar setelah mengambil tiga koper besar milikku. Hari ini, akhirnya aku kembali ke Indonesia setelah lebih dari tiga tahun berada di US. Pandanganku beredar ke beberapa orang yang tampak menunggu di depan pintu. Seseorang berjanji menjemputku siang ini. Pandanganku berhenti pada seorang perempuan berambut panjang yang sedang melambai-lambai ke arahku. Bibirnya tersenyum lebar. Dia segera menghambur ke arahku saat aku sudah dekat. Dia memelukku dengan erat.
"Aku kangen banget sama kamu." bisiknya di telingaku.
Aku tersenyum mendengarnya. Dia melepaskan pelukannya.
"Yuk, Papa sudah menunggu di rumah."
"Papa ke Jakarta?"
Alessandra menggangguk mantap. Dia berjalan menjajariku yang mendorong kereta dorong yang mengangkut koper-koperku.
Tiga tahun yang lalu, perempuan di sampingku ini menangis saat mengantarku. Namun, sekarang dia seolah tidak lelah tersenyum saat tahu aku sudah kembali dan tidak akan meninggalkannya lagi.
Mobil SUV hitam sudah menunggu di depan. Sopir pribadi Papa lalu turun dari kursi kemudi dan membantuku memasukkan koper ke dalam bagasi. Ale sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Aku mengikutinya kemudian. Mobil melaju meninggalkan bandara dan menuju ke rumah Om Osman di Jakarta.
Selama di dalam mobil, Ale menyandarkan kepalanya di pundakku. Berkali-kali dia mengatakan kalau dia merindukanku. Aku tentu saja merindukan perempuan yang sudah aku anggap adikku sendiri ini. Bersamanya, aku tumbuh besar dan melewati masa remajaku. Aku mengetahui semua hal tentang dia, begitu juga dia. Kami adalah keluarga kecil, namun harus menikah dalam waktu dekat. Pandanganku kemudian tertuju pada jari manisku, juga jari manisnya. Kami berdua memakai cincin yang sama. Sebelum berangkat ke US, kami menyelenggarakan pertunangan sederhana atas permintaan Om Osman dan Alessandra. Sementara aku mengiyakan saja, asalkan Ale bahagia.
Mobil berhenti di sebuah rumah kecil di perumahan. Dulu, rumah ini aku gunakan saat kuliah dan bekerja di Jakarta. Sekarang, rumah ini digunakan Ale karena dia juga bekerja di Jakarta. Ale melangkah turun dan masuk ke dalam rumah, sementara aku membantu sopir untuk menurunkan koper-koperku dan membawanya masuk. Om Osman menyambutku saat aku masuk. Dia memelukku layaknya seorang Papa memeluk anaknya yang lama tidak pulang. Begitulah, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik.
"Papa jadi repot-repot datang ke Jakarta." ucapku kemudian.
Om Osman tertawa. "Kebetulan Papa juga ada pekerjaan di sini. Ayo kita makan siang dulu."
Om Osman mengajakku ke ruang makan. Ale sedang menyiapkan beberapa hidangan di meja.
"Kenapa jadi masak sebanyak ini?" tanyaku saat melihat ada begitu banyak makanan di meja.
"Karena aku bingung makanan mana yang kamu rindukan. Jadi, aku minta ART memasak semua makanan kesukaanmu." Jawab Ale dengan senyum lebar.
Aku tersenyum mendengarnya. Dia memang seperti itu padaku. Selalu baik dan sangat menyayangiku melebihi apapun. Dia selalu mengatakan kalau aku adalah hal utama untuknya.
Kami bertiga lalu duduk di meja makan. Aku menceritakan tentang kehidupanku di New Haven. Sesekali kami tertawa. Om Osman dan Alessandra adalah keluarga yang tidak pernah aku miliki sejak dulu.
Sejak usia sembilan tahun, aku sudah kehilangan kedua orang tuaku dalam kecelakaan mobil beruntun. Setelah itu, aku tinggal bersama Nenekku. Kebetulan, Nenek tinggal di sebelah rumah Ale di Jogjakarta. Dari situlah kedekatan kami berawal. Setiap hari kami pergi berjalan kaki ke sekolah bersama. Ale juga selalu mengekorku kemanapun aku pergi. Dia bahkan sering tidur di rumah nenekku, atau aku yang tidur di rumahnya karena harus membantunya mengerjakan PR hingga larut malam. Mereka menjadi sumber kekuatanku untuk bertahan saat Nenek juga meninggal karena sakit diabetesnya ketika aku masuk SMA. Sejak saat itu, aku tinggal bersama keluarga Om Osman. Bahkan, Om Osman juga membiayai biaya hidup dan juga kuliahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day We Had
RomanceAku tidak pernah berpikir kalau takdir akan membuatku bersinggungan dengan perempuan bernama Zoe. Membawaku pada keputusan-keputusan besar, termasuk mengakhiri pertunanganku dan memilih menikahinya. Namun, aku tidak pernah menyesali setiap waktu yan...