The End of Days
"Ji, maaf. Serius aku nggak maksud aneh-aneh kok. Itu juga bukan ideku, tapi Papa."
Jimin masih nggak jawab. Asik telungkup wajah di lengan yang dilipet rapi diatas meja. Tadi setelah Papa sama Mama pergi, Jimin langsung lepas pelukan. Marah ceritanya. Suga laper, tapi nggak mungkin dia enak makan sedang disebelahnya Jimin nangis.
"Ya udah kalau nggak mau diem aku pulang."
"Ya udah sana pulang!" teriak Jimin tanpa angkat kepala.
Hela napas, Suga coba sabar. Dia nggak boleh marah karna ini juga salah dia. "Tadi pagi sebelum kamu bangun aku ngobrol random aja sama Papa. Terus tiba-tiba Papa nanya soal semalem, Papa tau aku diusir sama kamu. Aku jawab jujur aja kalau aku ajak kamu tunangan and Papa said yes. Papa kasih restu karna emang kami berdua punya perjanjian. Papa nggak yakin kamu nolak ajakan aku, makanya Papa mancing kamu tadi dan kebetulan Hyungsik dateng. Jadi, ya gitu."
Jimin masih belum jawab, tapi dia tetep nyimak cerita Suga. Dia seneng, tapi ada malu dan kesel juga. Demi apapun, ini masih pagi dan dia udah di prank.
Suga udah nggak tau lagi harus gimana. Dari pada makin runyam, jadi dia lebih milih beranjak dari tempat duduk. Niat hati kasih waktu sendiri buat Jimin biar lebih tenang. Mungkin satu atau dua jam lagi dia baru bisa ajak Jimin bicara.
Suara gerit kursi dan lantai narik atensi Jimin. Spontan tangan kecilnya ngeraih ujung kaus putih yang dipakai Suga.
"Mau kemana?!" suara parau dengan nada jengkel itu gema lirih, Jimin kesel tapi juga nggak mau ditinggal gitu aja. Suga harus tanggung jawab sama mood swing-nya sekarang.
Suga nunduk, ketemu wajah basah dan merah Jimin. Gemes pengen cium seluruh wajah, cuma harus tahan. Satu tangan raih kepala Jimin buat diusak halus, "nggak kemana-mana. Kamu kayanya butuh waktu sendiri. Nanti kalau udah tenang baru ngobrol, hm?"
Bukannya jawab, Jimin justru makin erat pegang ujung baju Suga. Sedikit narik dan untungnya Suga peka, doi balik duduk dan natap teduh cowok manis didepannya.
"Kenapa, hm?"
Jimin masih diem, natap Suga lurus dengan napas yang nyisain deguk tangis. "Kak Yoongi serius?"
"Kalau soal tunangan, iya. Enam bulan aku pikir bakal lupa, tapi sama sekali nggak. Enam bulan aku gunain waktu buat nerima, buat lebih sabar, buat lebih ngerti, dan mikir lebih terbuka. Kalau pun kamu nolak, aku juga nggak akan maksa. Mungkin aku masih usaha, tapi kalau emang pada akhirnya perasaan kita nggak bisa jalan beriringan, aku rasanya egois kalau masih gangguin kamu. Udah kubilang aku nggak mau jadi brengsek, Ji."
Lagi-lagi Jimin diem. Sebenernya pengen jawab, tapi bahkan dia nggak bisa rangkai kata karna terlalu kaget sama perubahan Suga. Bagi Jimin, Suga adalah yang terbaik, hal yang bisa bikin dia lebih dari cukup untuk ngerasa disayangi dan dicintai sekaligus.
"Lho, kok nangis lagi?" dua tangan Suga tangkup wajah Jimin, usap air mata yang membanjir. "Kamu udah abisin waktu setengah jam buat nangis, Ji. Nanti kamu ada kuliah, lho. Mau ditanyain temen-temen kalau matanya bengkak?"
"Biarin aku mau bolos!"
"Oke, boleh bolos kalau kamu sekarang makan sarapannya. Aku juga laper belum makan. Satu jam lagi aku harus berangkat."
"Katanya nggak kemana-mana?!"
"Ji, ini rumah orang tua kamu? Nggak mungkin aku disini terus?"
"Kenapa nggak mungkin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNER
FanfictionBAGI YANG KUAT MENGHADAPI KENYATAAAN, SILAHKAN BACA SERIES KE-2 DARI "BF" INI 🤗 💌 happy reading 💌