N I N E - Enemy

3.6K 420 62
                                    

hi semuanya!

Awalnya aku berniat buat update kemaren, tapi karena udah malem banget dan aku yakin banyak dari kalian udah tidur juga jadi aku upnya pagi ini.

Sebelum baca jangan lupa VOTEnya!

Happy reading!

~~~

Chapter 9 – Enemy

~~~

Kedatangan Olivier adalah petaka. Buruk, laksana mimpi buruk. Mata biru miliknya adalah racun. Menyebalkan dan tidak tahan France pandangi, tidak walau sedetik lebih lama sekalipun. Seringai yang tercetak di wajahnya laksana bulan. Namun miliknya kelam, serta menjengkelkan. France mau melakukan apa pun untuk menghapusnya. Walau harus memotong kedua bibirnya menjadi cincangan daging sekalipun.

Tungkainya yang berbalut sepatu pantofel, Olivier bunyikan di lantai. Terlalu kencang, sengaja mencari perhatian. Langkahnya bergerak dalam tempo yang lambat, menghampiri meja kerja kepemimpinan. Milik France seorang dan tidak ada siapa pun selainnya yang berani mendudukinya.

Di atasnya berceceran dokumen. Semuanya, menuliskan aibnya. Kabar berita tentang perusahaannya yang tutup tergeletak di sana. Berdampingan dengan dokumen turun sahamnya. Bersandang dengan tabel pemasukan per bulan yang turun drastis. Bahkan kini, angkanya hampir menuju minus.

Seulas senyum tersemat lekat di wajah Olivier. Kepuasan menuliskan ekspresi di seluruh matanya. Menatapnya dari kejauhan saja cukup menggertakkan amarah France. Jauh hingga ke ubun-ubunnya. Andai saja France berdiri di samping Olivier, pukulannya niscaya melayang di angkasa. Menonjok wajah tampannya, meretakkan rahangnya serta merta.

Pasti rasanya memuaskan sekali. Tanpa sengaja, France berangan seperti itu.

"Apa kau kehilangan rasa malumu? Aku terkejut kau meletakkan dokumen ini di atas meja kerjamu. Bagaimana kalau pada bawahanmu melihatnya? Dalih apa yang akan kau ucapkan, Kakak?" kepalan tangan France mengencang. Nadi menyemburat merunut lengannya. Amarahnya meluap, hampir tumpah ruah kalau batinnya tidak piawai menahan.

"Kau tidak memiliki hubungan dengan itu." Geraman France tertahan emosi.

"Tidak ada? Kau pikir begitu?" Olivier tertawa mencemooh. "Tolonglah, jangan bodoh seperti ini, Kak. Jatuhnya perusahaanmu akan melukis aib sampai keluargaku juga." Tawa Olivier menggaung. "Bayangkan memiliki ipar yang bangkrut. Rasanya aku memilih mati ketimbang memiliki julukan seperti itu."

Bocah brengsek ini! "Matilah sana kalau begitu!"

"Kau tidak boleh mengharapkan seperti itu, astaga. Karena jelas aku akan menceritakan kepada Kakakku tentang perusahaanmu sebelum mati." Tangannya yang mengepal Olivier bawa ke depan mulutnya. Gerai tawa disuarakannya di sana. Sekali lagi, nadanya mencemooh tak terkira. "Kau pasti akan langsung menjadi duda kalau kakak tahu."

"Jangan katakan kau menceritakan ini kepada Coralie, Olivier!"

Olivier menggeleng. "Tidak, aku tidak mengatakan kepada kakak." Laki-laki itu berucap. "Maaf, biar kuralat. Belum."

"Brengsek!"

"Dia akan tahu lambat laun, France. Kalaupun aku tidak menceritakannya, media yang akan menjadi sumber untuknya. Memberitakan keburukanmu. Mencatat kebangkrutanmu," Olivier piawai bertutur kata. Memancing emosi terlebih lagi. "Kakak membenci pria miskin. Dan jika kau akan jatuh ke jurang kemiskinan itu, dia niscaya pergi darimu. Dia niscaya menganggapmu sampah dunia. Tak berhak diberi kasih sayangnya.

"Kau akan dibuang, France." Tawa prihatin menggemuruh lembut. "Sedih sekali, kau mencintai kakakku sepenuh hatimu, namun baginya kau hanya alat penghasil uang foya-foya. Tidak lebih maupun kurang."

Age Does(n't) MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang