Niatnya update siang tapi kelupaan sampe malem gini wkwk
Hi semua! bagaimana kabar kalian? Baik-baik aja?
Aku update lagi Rian! Jangan lupa VOTE dan KOMEN dulu sebelum mulai ya!
happy reading!
~~~
Chapter 4 – bruise
~~~
Rian tidak begitu mengingat bagaimana dia tertidur semalam. Bagaimana dia memejamkan matanya hingga terjun ke dunia mimpi. Jam berapakah. Dan apa yang dia peluk dalam tidurnya. Guling? Tidak ini di Inggris, tidak ada yang menggunakan seperti itu. Dalam kesadarannya yang belum sepenuhnya puih, Rian berpikir.
Apakah bantal? Ya. Seingatku begitu. Rian mengigau pelan dalam tidurnya, mengeluarkan suara-suara laksana anak kecil keluar dari bibinya. Semalam dia mengingat telah melipat sebuah bantal, menggulungnya dan memeluknya erat ke dadanya. Tunggu, bantal yang mana? Sekali lagi laki-laki itu berpikir keras.
Oh yang bersprei abu yang tidak kugunakan.
Rian yang terbiasa tidur dengan gulingnya tidak kuasa memejamkan mata jika tidak ada yang dia peluk. Dia niscaya terpaku bangun. Niscaya membuka matanya, entah sampai kapan. Karena baginya, pelukan adalah esensial dalam malam hari. Baginya, guling adalah kebutuhan.
Memeluk bantal tentu saja kenyamanannya tidak sebanding ketimbang memeluk guling. Bantal lebih sukar dipeluk. Sukar dibawa tidur. Namun itu jauh lebih mending ketimbang tidak ada sama sekali. Kamar semalam terasa dingin. Bulan ini Inggris sedang diguyur musim gugur, siap menyongsong musim dingin.
Dia mengingat bagaimana dinginnya bantal yang dia pakai kemarin, bagaimana mengigilnya tubuhnya memeluk bantal itu. Namun pada pagi ini, dia tidak bangun didekap kedinginan itu. Jangankan dingin, sebaliknya pelukannya terasa hangat. Seakan pori-porinya diguyur sensasi hangat serta merta. Diselimuti kenyamanan laksana mentari siang hari di sela-sela kulitnya.
Nyaman sekali. Empuk sekali.
Aku tidak ingin bangun.
Wajahnya tanpa sadar semakin tenggelam ke dalam bantal itu. Semakin dalam, semakin menekan. Hingga tiba-tiba bantal itu mengeluarkan suara. Terdengar seperti sebuah pekikan. Mata Rian tetap terpejam. Kesadarannya masih melayang di udara.
Tapi, tunggu. Perlahan, Rian membuka matanya. Sinar matahari langsung merembes sekonyong-konyong bertamu ke retinanya. Bantal apa yang bisa berbicara? Tidak ada kuarasa.
Laki-laki itu mendongakkan wajahnya, dengan mata yang setengah terpejam. Dengan pandangannya yang masih kabur ini dia melihat sesosok perempuan. Berambut tidak pendek tidak panjang, bertubuh kecil, namun bermata tajam. "Charlotte?" Rian memanggil pelan.
"Siapa lagi selainku?" Perempuan itu bertanya. Sinis disengajakan.
Rian tertegun kala pandangannya berhasil berubah jernih kembali. Dia kini sedang tertidur dengan keadaan tengkurap. Tangannya melingkar di pinggang Charlotte dan wajahnya tertidur di paha perempuan itu. Pelan Rian mengerutkan keningnya. Pantas saja nyaman sekali. Dia membatin.
Rezeki sejak dini.
"Kau tiba-tiba mengguling kepadaku dan memelukku pagi bolong. Aku terkejut." Perempuan itu kini sedang duduk, menyandar di papan kasur dengan sebuah remot TV di genggamannya. Rian menoleh ke belakang, ternyata, dia sedang menonton berita gosip inggris pagi-pagi.
"Jam berapa ini?" Rian bertanya. Wajahnya dia balikkan untuk kembali tertidur di paha Charlotte. Senyum terukir di wajahnya. Rian merasa tubuh Charlotte menegang, dia harus menahan geli merasakan hidung mancung Rian menggesek di kulit paha polosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Age Does(n't) Matter
RomanceBagi Rian Andira, hubungan percintaan adalah yang tersulit. Kekayaan, Harta, gelar, perusahaan maha besar, bahkan penggemar yang menggilainya semua begitu mudah dia dapatkan. Namun percintaan, dia selalu gagal dalam hal itu. Diawali dengan cinta per...