Bagian 15

11.8K 1.9K 114
                                    

Beberapa helai pakaian setengah kering sudah berjajar di jemuran teras samping rumah. Asiyah tampak cekatan menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum matahari beranjak makin tinggi. Ridwan bahkan masih menikmati secangkir kopi di teras sebelum laki-laki itu berangkat mengajar di sekolah.

"Ibu masih marah?" celetuk Ridwan usai menyeruput minumannya yang mulai mendingin.

Asiyah menipiskan bibir tanpa menoleh pada sumber suara. "Enggak, ngapain juga Ibu marah sama masa lalu."

Ridwan terdiam menatap punggung istrinya. Wanita yang tengah berpeluh di sisi jemuran itu memang tak pandai menutup kekesalan.

"Kata Aya, Arum juga menemuinya di Jogja." Asiyah berucap seraya mengibaskan kemeja kusut di tangan lalu menyampirkannya di atas kawat jemuran.

Alis tebal Ridwan terangkat. Sepertinya Arum serius dengan keinginannya. Wanita itu selalu tegas dengan pilihannya. Sama saat ia memilih pergi meninggalkan keluarga ini.

"Ya sudahlah, Bu. Toh Tera itu bukan anak kecil lagi. Biarkan dia memilih nanti," pungkas Ridwan sambil menenteng tas tangan dari kursi. Ia hampir bangkit ketika dada sebelah kirinya tiba-tiba berdenyut. Ridwan berhenti sejenak, urung untuk bangkit. Semalaman laki-laki berhidung mancung itu tak tidur memikirkan semuanya. Mungkin ia kelelahan hingga jantungnya yang mulai menua bersama usianya ikut kelelahan.

Bukan perkara mudah mengambil keputusan dengan membiarkan Tera memilih sendiri. Ridwan tahu betul jawaban putri sulungnya nanti. Putrinya itu pasti akan memilih pergi mengingat selama ini hubungan mereka tak baik. Namun, Ridwan pun tak bisa membuka masa lalu keluarga ini di depan Tera. Biarlah dirinya menjadi tersangka yang melukai hati wanita dalam keluarga ini. Kelak Tera akan tahu sendiri mengapa ayahnya memutuskan melepas Arum, ibu kandung Tera.

Pikiran Ridwan seolah terbang ke masa di mana tangis Tera kecil meledak seraya bersimpuh di kaki ibunya. Namun, wanita bergamis merah tak berjilbab itu tetap bergeming. Jilbab lebar yang semula dikenakan hanya ia genggam di tangan kanan sambil terus ia remas hingga kuku jarinya menghunjam pada gulungan kain senada gamis. Rambut sebahu Arum tampak tersibak angin di halaman rumah malam itu. Bulir air mata terus membasahi pipi sementara Ridwan tetap terdiam menatap sendu pada putrinya yang berusia 6 tahun terus menjerit tak menginginkan kepergian sang ibu.

"Aku lelah selalu menjadi yang kedua, Mas. Tidak bisakah aku dan Tera menjadi satu-satunya dalam hidupmu?"

Ridwan menghela napas, kali ini sungguh ia tak sanggup menyembunyikan air mata. Sungguh ia merasa amat berdosa karena tak sanggup memahami apa itu adil untuk kedua istrinya. Namun, ia juga tak sanggup membohongi dirinya bahwa Asiyah adalah cinta pertamanya. Meski Asiyah merelakannya menikahi Arum demi memenuhi harapan mereka akan seorang anak, Ridwan tetap tak sanggup membagi dirinya.

"Kali ini ... relakan aku pergi. Aku titipkan Lentera padamu dan Mbak Asiyah, maaf aku tak sanggup menepati janjiku," pamit Arum.

Wanita itu melepas cekalan Tera, menggendong sejenak dan mencium beberapa kali pipi basah putrinya. Lalu ia ulurkan sang anak berpiama biru itu pada sang ayah. Sebelum Arum benar-benar pergi, ia sempat menyerahkan jibab di tangan kanan Ridwan.

"Terima kasih telah mengenalkanku dengan ajaran Islam, Mas."

Sejak itu, wanita berdarah Cina itu benar-benar menghilang. Namun, kepiawaiannya menulis kerap membawa Ridwan berkelana membaca koran setiap Minggu, berharap ada nama Arum Senja tercetak di setiap rubrik koran yang ia baca.

"Yah ...." Suara dan tepukan tangan kanan Asiyah di bahu membuat lamunan Ridwan berhamburan.

"Ya, Bu?"

"Ada tamu," terang Asiyah dengan raut cemas seraya menunjuk tamu yang sudah berdiri di ambang pintu pagar.

Ridwan menoleh ke arah halaman depan. Matanya memastikan bahwa apa yang membuat istrinya cemas bukan seperti dugaannya. Namun, sosok wanita dari masa lalu yang mirip dengan putri sulungnya itu sudah cukup memastikan dugaannya tak salah. Laki-laki tua yang hampir bungkuk dengan tongkat di sisinya juga semakin membuat jantung Ridwan berdegup lebih cepat, membuat rasa nyeri itu kembali datang lebih hebat.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang