Bagian 5

15.4K 2.2K 36
                                    

Kubikel bernuansa hijau muda itu tampak berantakan. Beberapa remasan kertas tampak terserak di sana. Beberapa kali pula suara mesin printer bersuara, mengeluarkan beberapa lembar kertas. Lalu, wanita berkacamata baca yang tengah duduk bersila di atas kursi membaca hasil tulisannya.

Baru satu paragraf ia baca, keningnya berkerut. Dua paragraf berikutnya ia menggigit bibir, dan pada paragraf ketiga Tera menggeram. Diremasnya kembali artikel yang sudah beberapa kali bergonta-ganti. Ia kembali menatap layar setelah membenarkan posisi kacamata di pangkal hidung. Baru mengetik satu kalimat, ponsel di sisi kiri komputer bergetar. Nama Juan tertera di sana. Astaga, pasti ia menagih hasil tulisannya. Sebelum naik cetak, Juan terbiasa membaca terlebih dahulu hasil tulisannya. Namun, nyatanya Tera belum juga merampungkan artikel permintaan Juan.

"Tera!" suara bernada tegas itu membuat Tera yang sedang melepas kacamata berjingkat. "Kebangetan banget ditelepon enggak diangkat," keluh Juan seraya menghampirinya.

Tera hanya menipiskan bibir. Bisa-bisanya Juan bersikap berlebihan begini. Kubikel mereka hanya berjarak beberapa langkah. Buat apa juga ia telepon?

"Yaelah, tinggal jalan ke sini doang pake ribet telepon dulu," ketus Tera.

"Mager. Enggak tahu apa, aku lagi banyak kerjaan," ucapnya sama ketus. Kali ini ia bicara sambil melempar pandangan ke lain arah. Namun, wajah kesal Juan berubah manis saat dari ujung ruangan tampak wanita berjalan mendekap map merah di dada. Hanya saja raut manis berubah masam seketika saat menyadari bersama siapa Lianti berjalan. "Sam lagi." Juan menggerutu sebal.

Mendengar nama itu disebut, dada Tera mendadak bergemuruh. Dengan gugup diturunkan kaki yang semula bersila di atas kursi. Tera menunduk, sok sibuk di depan komputer dengan punggung sedikit merendah, berharap Sam tak melihat ada Tera di dalam kubikelnya. Belum. Sungguh ia belum siap harus bertemu dengan Sam setelah lamaran konyol itu datang semalam.

"Besok lusa, oke?" Sam bersuara. 

Sosoknya sudah berdiri di sisi Juan yang berdecak kagum memandang pinggul terbalut rok tutu cokelat muda milik Lianti. Wanita itu hanya berhenti sejenak, mengerling sambil mengerutkan hidung ke arah Juan, kemudian berlalu ke ruangannya.

"Hah? Apanya, Pak?" Tera menegakkan tubuh. Matanya menatap seolah menuntut penjelasan dari laki-laki dengan tas ransel dan kamera DSLR di tangan.

"Apa lagi, ya, nikah," sahutnya singkat dan santai.

Tera yang semula mulai berusaha bersikap santai mendadak terbelalak. Termasuk Juan yang notabenenya tidak tahu kabar itu. Juan hampir melonjak, ia menjauhkan sedikit tubuhnya dari sisi Sam dan memandang Sam beserta Tera secara bergantian.

"Kalian berdua kenapa, sih?" Sam balik keheranan sambil menggeleng. Sementara Tera yang napasnya semakin naik turun tak keruan dan Juan terperangah karena mulai sangsi dengan kewarasan Sam, calon suami Tera itu hanya meraih sebungkus permen mint di toples mungil milik Tera.

"Astaga, Sam ...," desis Juan tak percaya.

Sam hanya mengedik dan berlalu menuju ruangan kerja tepat berhadapan dengan kubikel Tera.

"Astaga, Tera ...," desis Juan lagi. Kali ini menatap wanita yang sedari tadi membuka lalu menutup mulut lagi saking tak tahunya harus bilang apa pada si manusia lempeng itu. "Jadi, selama ini kalian berdua ada hubungan khusus?"

"Bu-bukan ...!" sangkal Tera. Ia bangkit dari kursi. "Aku sama Pak Sam memang mau nikah! Tapi—"

Ups! Perkataan Tera terhenti. Manik matanya berkeliling menatap sekitar. Ah, yang benar saja! Semua karyawan sudah berdiri dari meja kerja, menunggu penjelasan Tera. Termasuk Bela yang baru saja masuk ke ruangan itu. Bela mengerjap, telunjuknya menunjuk Tera dan Sam yang jelas-jelas sudah masuk ke ruangan.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang