Bagian 3

15.3K 2.3K 10
                                    

Bersitegang dengan Ayah sudah cukup membuat Tera terjangkit insomnia akut. Semalam ia baru bisa memejam dan terlelap menjelang subuh. Namun, mengingat alarm ponselnya selalu rajin berbunyi di jam bangun pagi, wanita yang tengah berjalan di halaman kantor itu terpaksa bangkit. Ia tidak suka terjebak macet dan membuatnya berurusan dengan HRD karena kerap terlambat masuk.

Tera menghela dan mengembuskan napas pelan seraya mengayun tas tangan. Pikirannya kacau. Kelak bila uang tabungan cukup, sewa apartemen dan tinggal terpisah dengan orang tuanya menjadi pilihan terbaik.

"Jadi, bagaimana?"

Suara laki-laki yang tiba-tiba mensejajari langkah membuat Tera berjingkat terkejut. "Astaga!"

Sam mengerjap melihat keterkejutan Tera yang terkesan berlebihan. Wanita itu mengelus dada seraya mengembuskan napas kasar.

"Bisa enggak sih, Pak, nyapa dulu? Kaget saya," keluh Tera.

"Tadi aku sudah memanggilmu," ungkap Sam dengan kedua tangan tersimpan pada saku celana chino yang dikenakan.

Giliran Tera yang mengerjap dua kali. Mungkin saking seriusnya ia melamun, sampai-sampai tak dengar ada yang memanggil. "Oh, maaf," ucap Tera dengan senyum masam. Ia kembali berjalan dengan Sam di sampingnya.

"Jadi?" Sam melanjutkan.

"Mm, maaf, Pak, Ayah saya tidak mengizinkan. Tapi—"

"Oh, oke. Nanti malam biar aku yang bicara dengan orang tuamu," potong Sam. Ia tersenyum sekilas dan mengangguk saat satpam di depan kantor membukakan pintu untuknya.

Hah? Semudah itu tanggapannya? Tera menghentikan langkah. Wanita yang tengah berdiri di depan pintu itu berpikir sejenak, ternyata Sam selain orangnya suka mengambil keputusan sepihak, ia juga orang yang gampang menyepelekan hal yang menurut Tera masalah menjadi tidak masalah buatnya. Tera berdecak sambil menggeleng-geleng. Makhluk dari luar angkasa mana sih Sam itu?

"Mbak Tera mau masuk enggak, nih? Pegel tangan saya ini!"

Suara satpam depan pintu membuat Tera sadar. Ia tersenyum kikuk dan mengangguk malu sebelum akhirnya berlari kecil masuk ke kantor. Sementara Sam yang berlalu lebih dulu berhenti sebentar saat berpapasan dengan Lianti, wanita yang terkenal berbadan ala gitar Spanyol dan seksi—kata Juan begitu.

Tera meletakkan tas tangan di sisi kanan meja. Ekor matanya masih memperhatikan Sam yang masih berbincang serius dengan Lianti. Sesekali ia bisa melihat tangan Lianti yang bercacat kuku merah menyala itu menyentuh pelan lengan Sam. Entah apa yang sedang mereka obrolkan, tetapi menurut Tera sikap wanita berambut lempeng—maksudnya lurus karena hasil catokan—yang kini tertawa cekikikan di depan Sam itu berlebihan.

Haish! Kurang kerjaan sekali mengurusi penampilan orang! Tera mendesah sembari menggeleng. Ia membungkuk, jari telunjuknya menekan tombol pada CPU di bawah meja.

"Pukul tujuh malam. Oke?"

Tera yang masih membungkuk mendongak. Sam terlihat berdiri di depan mejanya dan menumpukan kedua lengan di sisi kubikel yang hanya setinggi perut orang dewasa. Nah, kan, mengambil keputusan sepihak lagi! Tera kira Sam sedang fokus berbicara dengan Lianti tadi.

"Oh, oke," sahut Tera akhirnya masih dalam posisi membungkuk dengan jari telunjuk bertengger di tombol On CPU.

Setelah mendapat persetujuan dari Tera, laki-laki dengan seragam lapangan berwarna biru gelap itu masuk ke ruangannya. Tumben pakai seragam. Biasanya juga pakai kemeja putih dan baru mengenakan seragam lapangan bila sudah mendapat teguran dari papanya.

Oh, iya! Tera lupa kalau papa Sam itu pemimpin redaksi di sini. Pantas saja laki-laki itu suka mengambil keputusan sepihak di depan karyawan yang lain. Tera kembali menggeleng dengan mata menyipit teringat hal itu. Kesimpulannya, jika menolak keinginan Sam, mampuslah kamu Tera! Mendapat surat peringatan karena menolak tugas, atau dipecat dari pekerjaanmu!

Bahu Tera mendadak terkulai lesu. Ia harus bersiap menerima kenyataan bila itulah yang terjadi. Dengan lemas diraihnya setumpuk map berisi data liputan dari Juan kemarin. Hari ini juga artikel untuk rubrik dunia hiburan harus selesai.

**

Sam menurunkan tas selempang dari bahu ke meja. Ia duduk bersandar pada kursi berporos seraya menggerak-gerakkannya ke kanan lalu ke kiri. Matanya terfokus pada sebuah foto di meja sebelah kanan. Sosok lelaki berambut kelabu dan wanita berhijab, bersanding menggunakan batik cokelat. Keduanya tersenyum dan setiap kali menatap senyuman dari foto itu, ada sekelumit rasa iba.

Sam memang tergolong anak mandiri meski merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Ia juga lebih memilih hidup di apartemen hasil jerih payahnya bekerja sebagai jurnalis. Papanya sudah berkali-kali meminta segera menggantikan jabatannya sebagai pemimpin redaksi di perusahaan media cetak ini. Akan tetapi, jiwa Sam yang teramat mencintai petualangan membuat laki-laki dengan alis tebal itu masih enggan pindah jabatan. Sementara sang mama, hampir setiap telepon selalu saja bilang rumah terasa sepi dan rindu Sam kecil.

Sam tersenyum samar, sebelah tangannya meraih pigura foto, mengusap sebentar lalu meletakkan kembali ke tempatnya.

Suara pintu diketuk menginterupsi Sam. "Ya, masuk!"

"Sam, kamu yakin mau berangkat bulan depan ke daerah tapal batas Kalimantan? Sama anak baru itu? Dia bukan anak jurnalistik, kan?" Lianti yang baru saja masuk segera menyambar dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Laki-laki yang sedang duduk dengan jemari saling terkait di atas meja hanya mengedikkan alis.

"Kamu serius? Kamu yakin dia bisa? Dia belum pernah terjun meliput berita lintas kota, apalagi lintas provinsi! Aku bisa, kok, bujuk papamu untuk mencarikan wartawan baru yang lebih mumpuni dari—"

"Li ... berhenti meminta mengubah keputusanku di depan Papa. Ini kantor, bukan rumah. Hubungan ayah dan anak tidak berlaku di sini. Oke?" Sam menatap tegas.

Lianti mengatupkan bibir sangat rapat, menandakan ada perasaan kesal saat Sam lebih memilih pergi bersama anak baru di kantor ini. Ia mengibaskan rambut kebelakang, mencondongkan tubuh ke depan dengan kedua tangan terkepal di atas meja. Sam bisa melihat raut tidak suka dari tatapan matanya.

"Tapi Sam—"

"Kalau begitu kenapa bukan kamu saja yang menemaniku?" Sam menembak sasaran dengan tepat. 

Wanita di depannya ini tak akan mungkin mau hidup di daerah terpencil selama beberapa hari. Jangankan daerah terpencil, wisata jauh sedikit dari kota saja membuatnya jengah dan merengek minta pulang. Entah mamanya dapat kenalan dari mana sampai-sampai merekomendasikan Lianti bekerja di sini dan berharap mereka berdua bisa dekat satu sama lain.

"Oke, terserah kamu saja," pungkas Lianti. Ia bangkit dari kursi, entakan kaki terbungkus pump shoes berwarna hitam itu cukup mewakili amarah.

Begitu ia membuka pintu, tatapan kedua matanya menatap sengit pada kubikel di mana Tera sedang sibuk mengetikkan sesuatu. Bertepatan Tera mendongak, Sam bisa melihat wanita itu mengangguk dengan senyum canggung, lalu menunduk kembali saat tahu Lianti menatap marah.

Pintu berdebum sangat keras. Sam bersandar malas ke kursi. Andai mamanya tahu sikap kekanakan Lianti, masih yakinkah Mama menginginkan Sam dekat dengannya?

**

Jangan lupa tekan 🌟 ya, Kak. :)
Terima kasih. 🙏

(20-08-2019)

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang