Bagian 27

11.1K 1.8K 141
                                    

Minggu pagi ini selera makan Tera menguap entah ke mana. Bi Inah--yang memang sengaja Sam kirim dari rumah sang mama untuk menemani Tera di rumah--sudah memasak kungpao chicken layaknya masakan Sam. Namun, semua masakan itu sama sekali tak menggugah rasa laparnya.

"Kenapa, Non? Masakan Bibi enggak enak, ya?" Bi Inah bertanya seraya mencuci gelas di wastafel cuci piring.

Tera yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanan tak jelas mendongak. "O-oh, enak kok, Bi. Tera emang lagi enggak nafsu makan hari ini."

Bi Inah terkikik. "Kenapa? Mau yang asem-asem? Lagi ngidam barangkali?"

Duh, kenapa akhir-akhir ini selalu ada tudingan itu, sih! Tera tak mau itu terjadi selama Sam belum pulang! Titik! Tera menggigit bibir.

"Bukan, Bi ... lagi enggak selera aja, kok," jelas Tera akhirnya.

Kabar dari Bela semalam sungguh menambah beban pikirannya. Juan memilih resign dan bekerja sebagai wartawan lepas. Meski Juan beralasan ingin mandiri dan tak ada ikatan dari media mana pun, Tera paham bukan itu alasan utamanya. Ia begitu yakin keputusan Juan ada hubungannya dengan kepindahan Lianti. Bagaimanapun usaha Bela membujuk Juan, tak membuahkan hasil. Bahkan saat Tera berjanji akan selalu jadi korektor setia artikel buatan Juan pun tak berhasil.

Ternyata jadi istri dari laki-laki yang banyak kupu-kupu di sekitarnya seberat ini, Tuhan. Batin Tera bergelut. Ia juga terus berdoa semoga Juan selalu mendapatkan job di luar sana dengan lancar.

"Bibi ke supermarket sebentar ya, Non. Mau belanja keperluan dapur." Bi Inah berpamitan setelah mengeringkan tangan dan melepas apron dari dadanya.

"Eh, jangan, Bi. Biar Tera aja. Tolong catat apa aja yang perlu dibeli ya, Bi." Wanita dengan piama beraksen garis-garis itu bergegas mengganti pakaian.

"Mau Bibi temani belanja, Non?" Bi Inah sedikit mengeraskan suara melihat istri majikannya itu sudah masuk ke kamar.

"Boleh!"

**

Supermarket di akhir pekan lebih ramai dari hari biasanya. Bi Inah mendorong troli di belakang Tera sementara istri Sam itu memilih beberapa kotak susu segar dengan aneka merek. Wanita dengan sanggul kecil di kepalanya itu tak jarang meledek dengan memilihkan aneka susu persiapan untuk calon ibu atau menyodorkan mangga. Tera hanya tersenyum dan menggeleng sebagai cara menolak dengan halus.

Usai memenuhi troli dengan belanjaan, keduanya bergerak menuju kasir. Tera menyempatkan menilik ponsel yang bergetar di saku saat mengantre panjang.

"Ajak Bi Inah kalau pergi sama sopir pribadi Mama."

Tera mengerucutkan bibir. Untung saja Tera bukan tipe wanita yang risi dengan setiap sikap posesif pasangan. Setelah mengirim Bi Inah di hari kedua kepergian Sam, menyusul sopir pribadi Mama Meilan di hari ketiga. Sayangnya, Tera terlalu risi pergi ke kantor hanya berdua saja dengan sopir. Mau membawa mobil Sam pun ia terlalu enggan menyetir sendirian dan memilih naik angkutan umum. Bukan tak bisa, semua wartawan di kantor media mewajibkan bisa menyetir roda dua maupun roda empat.

Tera mengetik balasan dengan cepat. "Katanya enggak ada jaringan internet."

"Udah balik ke Delhi. Tiga hari lagi aku pulang."

"Hah?"

Tak ada balasan lagi. Ah, seharusnya tadi Tera balas iya dan antusias menyambut bukan? Keningnya berkerut menyesali. Jemari lentik di atas benda pipih itu kembali mengetik.

"Sam ...."

"Neng Nurul?" Bi Inah bersuara.

Tera berbalik. Bertepatan ia berbalik, senyum wanita salihah itu mengembang. Jilbab hijau dan gamis panjang itu mengejukkan siapa saja yang memandang. Tak ada pilihan. Meski hati Tera tercubit amat keras, balasan senyum ia tunjukkan demi menghapus kecanggungan.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang