Bagian 6

14.2K 2.1K 23
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya, Lentera Aulia ...."

Tera mendadak linglung. Kalimat itu terus terngiang, membuat ia terkadang sesak napas seketika. Perbincangan sederhana masih berlanjut di ruang makan keluarga Tera. Semua duduk mengitari meja persegi dengan hidangan makan siang. Nasi rawon buatan Ibu yang—Tera rasa—cukup menggiurkan lidah tampak menjadi sajian istimewa, tetapi bagi Tera mendadak terasa hambar.

Tera dan Sam duduk bersebelahan di karpet ruang tengah. Namun, matanya menatap kosong pada sepiring nasi rawon dan sesekali menoleh lalu menatap ke arah dua keluarga yang telah bersatu di meja makan.

Orang tua Sam—Meilan dan Bramantyo—sesekali tertawa dan menghentikan sendokan kuah rawon dari piring saat Ayah bercerita masa kecil Tera. Sepertinya Ayah sudah melupakan pertengkaran kemarin. Ibu dan Aya juga sibuk tersenyum ketika Meilan mengatakan sajian makan siang mereka sungguh enak.

"Oh ya, Sam, malam ini tidurlah di sini. Berikan waktu pada istrimu untuk bermanja dengan keluarga sebelum kamu bawa pulang." Meilan mengerling ke arah putranya.

Ibu tertawa kecil. "Ah, Tera sudah—"

"Tidak! Saya bisa langsung ikut Pak Sam pulang hari ini juga," sela Tera. Ia sempat tersenyum samar pada Asiyah—ibunya.

Sontak pemuda di sisi Tera—yang mengenakan setelan kemeja putih dengan jas hitam yang sudah ia tanggalkan—hampir tersedak buliran nasi dan kuah di mulut.

"Santai saja, Pak," sambung Tera seraya menggeser gelas minum ke sisi Sam.

Sam meneguk air mineral hingga setengah tandas, menarik lipatan tisu di meja untuk mengelap sudut bibirnya yang basah. Ia melempar remasan tisu ke kotak sampah di ujung ruangan, lalu menyangga kepala dengan sebelah tangan demi menatap Tera heran.

"Berhenti menyebutku dengan sapaan Pak. Aku belum setua itu dan ini bukan di kantor," protes Sam.

Protesan Sam itu kontan mendapat sambutan tawa seisi ruangan makan. Mereka berdua memang belum mendaftarkan pernikahan secara resmi ke KUA. Sam memutuskan baru akan mendaftarkan pernikahan mereka setelah pulang liputan di Lumbis Ogong, Kalimantan.

"Betul sekali, Nak. Sam baru berusia 26 tahun. Belum setua yang kamu kira. Penampilan dia memang terlalu kolot." Bram tertawa kecil seraya menyendok kembali makanannya.

Tera tersenyum malu dan saat ia menatap Sam, wanita itu tertunduk seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Baginya Sam menakutkan dengan tatapan tajam yang hanya mengarah padanya.

**

Langkah kaki Tera sedikit terganjal dengan rok bermotif batik yang dikenakan. Ia perlu sedikit mengangkat setelan kebayanya itu agar dapat mengikuti langkah Sam. Sesekali wanita yang menutup kebayanya dengan jaket hoodie milik Sam. Tepat di depan lobi apartemen, ia menaikkan penutup kepala setelah membenarkan posisi ransel di punggung.

Mulanya Sam bersikap cuek dengan tingkah wanita yang sesekali tertunduk dalam saat berpapasan dengan orang lain. Hingga sampai di dalam lift dan Tera menurunkan penutup kepala sembari melepaskan napas lega, kening Sam berkerut.

"Kenapa bertingkah seperti penyusup begitu?" Sam berujar seraya menyandarkan lengan kiri ke dinding lift.

"Oh, itu ... saya takut dikira wanita enggak bener, Pak," kekeh Tera pelan.

"Maksudmu?" Sam mencecar, tetapi wajahnya terfokus pada layar ponsel yang sedari tadi menyala. Panggilan dari Juan dan Lianti. Namun, berkali-kali ditutup dengan menggulir ikon telepon merah.

Tera berdecak sembari mengentak kedua tangan. Sepertinya wanita di sisi Sam itu sudah menahan rasa tertekan sejak sampai di parkiran apartemen.

"Bapak pikir kenapa coba?" Tera sudah menghadapkan tubuh ke arah Sam dengan bola mata sedikit melebar karena kesal.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang