Bagian 9

13.5K 2.2K 84
                                    

Wanita dengan wajah memberengut itu berjalan mengekor lelaki bercelana cargo hitam di depannya. Sepertinya Sam adalah lelaki yang juga penganut feminisme garis keras. Tidak mengenal kata lady's first. Buktinya, di jalan sedikit menanjak dan berbatu kerikil lelaki berbahu kokoh itu tetap jalan santai di depan tanpa mempersilakan Tera berjalan terlebih dahulu dan setidaknya berkata, hati-hati jalan licin dan berbatu. Atau setidaknya ia menuntun perlahan.

Tera berhenti sejenak, menatap punggung Sam yang masih saja terus berjalan ke depan.

"Kenapa berhenti, Bu?" Suara lelaki dengan topi hitam dan celana pendek dipadu jaket army yang sudah tampak lusuh menginterupsi Tera.

Tera mengerjap dan tesenyum kaku seraya menggaruk rambut yang tak gatal. "Oh, tidak apa-apa, Pak Kades. Mari, jalan lagi."

Dengan langkah tergesa wanita yang menatap sengit punggung Sam itu mendahuli Pak Kades. Seharian ini Pak Kades akan mengantar mereka berkeliling melihat bangunan sekolah dasar di Tau Lumbis. Bangunan berbentuk rumah panggung dengan pelataran ditumbuhi semak tak beraturan. Tera sendiri heran mengapa bangunan seperti ini masih juga dipertahankan sebagai sarana pendidikan. Belum lagi beberapa plafon yang hampir ambruk karena sering menerima rembesan air hujan melalui atap yang bocor.

"Assalamualaikum." Sapaan lembut dari seseorang berjilbab merah jambu di belakang Tera membuatnya menoleh. "Perkenalkan, saya Nurul.  Guru dari Program Indonesia Mengajar," lanjutnya. Gadis itu mengulurkan tangan ke arah Tera. Membuat Tera yang semula terpaku dengan paras ayu dan keibuan milik Nurul tergeragap.

"Tera," sahut Tera sembari menautkan telapak tangan.

Setelah menyalami Tera, gadis dengan gigi gingsul itu menghampiri Sam yang terpaku di depan pintu sebuah kelas kosong. Tera bisa melihat tatapan sendu suaminya saat menatap Nurul.

Mereka sudah saling kenalkah?

"Selamat datang di Tau Lumbis, Mas Samudra," kata Nurul dengan suara pelan, tetapi Tera masih bisa mendengarnya.

***

"Jam berapa kelas dimulai setiap harinya?" Sam bertanya. Kedua tangannya sibuk menekan shutter ke arah yang ia mau.

Nurul berdeham, membenarkan posisi jilbabnya sebentar. "Jam delapan sebenarnya, tapi untuk siswa yang jauh kami memberikan toleransi bila terlambat," jawabnya.

"Letak desa yang berjauhan dan hanya bisa dilalui transportasi air membuat mereka sedikit kesulitan, Pak Wartawan," imbuh Pak Kades.

Tera sibuk mencatat semua informasi di buku agenda yang ia bawa. Kewajibannya menjadi wartawan tulis membuat wanita itu harus gesit mencatat semua informasi yang kadang Sam tanyakan begitu cepat.

"Sebenarnya tidak cukup sulit mengajar dengan jumlah siswa yang paling 10 orang dalam satu kelas. Tapi untuk sepekan ini guru PNS satu-satunya yang biasa saya dampingi mengajar sedang cuti karena sakit," terang Nurul saat Sam menanyakan kegiatan belajar di sekolah.

Sepuluh siswa saja. Ya, jangan kaget dengan sedikitnya jumlah anak-anak di daerah perbatasan. Tera pernah mendengar slentingan kabar di daerah perbatasan Kaltara program KB tidaklah cocok. Banyak dari sekian penduduk yang takut menikah membuat angka kelahiran tak cukup signifikan meningkat. Lagi pula, siapa juga yang mau melahirkan dalam keterbatasan fasilitas kesehatan. Tera mendesah dalam batin.

"Mungkin Tera bisa membantumu mengajar sepekan ini."

Mata sipit Tera mendadak membola. Wajahnya yang semula menunduk dan sibuk mencatat mendongak. Ia menunjuk wajah dengan pena yang sedang dipegang. "S-saya?"

Ulah gila apa lagi yang akan diperbuat Sam? Tera bekerja di kantor media milik ayah Sam untuk melakukan pelarian dari mimpi sang ayah yang menginginkannya menjadi seorang pengajar. Masa iya sekarang malah terjebak menjadi pengajar, di daerah penuh keterbatasan pula. Gigi Tera bergemeletuk, matanya masih melebar dengan kedua alis terangkat tinggi, membuat keningnya semakin berlipat.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang