Bagian 11

14.3K 2.1K 75
                                    

"Kakak kenapa tidak jadi guru saja?"

Pertanyaan Tania, gadis berusia 15 tahun, yang sedang duduk di anak tangga depan kelas membuat Tera menoleh. Kening wanita berbandana merah itu sedikit berkerut. Bukankah sekarang ia sedang jadi guru?

Tania tersenyum tipis, rambut ikalnya bergerak tatkala ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan dan menunjuk kartu pers yang terkalung di leher Tera. Detik itu juga Tera tersenyum canggung seraya meraba kartu di depan dadanya.

"O-oh ... ini .... Kakak suka menulis makanya lebih memilih jadi wartawan," terang Tera sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Tania mau jadi seperti Ibu Nurul, membantu teman-teman belajar," seloroh gadis yang kini bangkit sambil menepuk belakang rok merahnya.

Tania berjalan menjauh, menghampiri penjual di halaman sekolah yang hanya beralaskan meja. Pada meja itu berjajar aneka camilan. Tera mengembuskan napas pelan menatap kepergian Tania. Sudah dua hari ini ia membantu Nurul mengajar siswa kelas 6 yang hanya berjumlah 10 orang. Tak sulit mengajar siswa berjumlah sedikit, yang sulit adalah menyesuaikan waktu belajar dengan kondisi mereka yang jauh dari sekolah. Untunglah Tania cukup bisa diandalkan. Meski ia tergolong siswa paling tua, Tania adalah siswa tersemangat mengejar ketinggalan dan rela membantu siswa lain yang terlambat datang dengan meminjamkan buku catatan pada siswa lain. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, mungkin itu yang sudah ditanamkan Nurul pada Tania, murid kesayangannya.

Perlahan Tera mengusap kartu pers miliknya. Ada gelar S. Pd. yang melekat di sana. Namun, gelar itu tak ubahnya tulisan saja. Tera tak sepenuhnya ikhlas menyandang gelar itu.

"Mulai menyesali?"

Suara bernada ejekan itu membuat Tera mendongak. Namun, sekaleng minuman berperisa cokelat yang tiba-tiba Sam tempelkan di kening membuat Tera memejam kaget. Oh, tunggu! Minuman kaleng? Dari mana laki-laki kaku ini mendapatkan minuman ringan berkaleng hijau di daerah terpencil begini?

Tera meraih kaleng minuman, bibirnya menipis dengan mata sedikit membelalak lucu. Ia membuka minuman cokelat itu dan meminumnya setengah tandas. Sedikit penasaran, diputarnya kaleng, meneliti setiap sisi. Bukan dari Indonesia.

"Dapat dari Nurul. Kemarin dia habis belanja di Pagalungan, Malaysia," terang Sam sebelum Tera sempat banyak bertanya. Laki-laki di sisi Tera itu sama duduk di anak tangga sambil meneguk minumannya.

"Pagalungan?" Tera menjilat sisa minuman di sudut bibir sejenak "Kita ada rencana ke sana jugakah?"

Sam mengerjap, menatap sejenak ke arah istrinya yang mendekatkan wajah padanya. Tera bergeming, mempertahankan posisinya yang tanpa sadar sebelah lengannya menempel pada lengan kanan Sam. Sungguh ia berharap laki-laki ini juga akan mengajaknya ke negara tetangga. Dehaman Sam menginterupsi Tera, membuatnya sedikit terlonjak kaget saat keduanya sama menatap lengan mereka yang saling bersentuhan.

Astaga! Sejak kejadian mati listrik malam itu, Tera jadi canggung luar biasa. Mereka hanya bicara saat dalam acara liputan saja. Bahkan Sam sepertinya sedikit menjaga jarak. Tak ada kejelasan akan apa yang telah laki-laki itu lakukan dan terhenti begitu saja saat lampu padam.

"Boleh saja ke Pagalungan sebelum kita kembali ke Jakarta weekend ini," ucap Sam meleburkan kebisuan.

Tera mengangguk-angguk. "Asyiiik ...!" gumamnya pelan dengan kedua tangan mengepal.

Alih-alih menanggapi kegembiraan Tera, Sam justru bangkit dan berjalan mendahuluinya. Kenapa dengan si Kaku itu? Tera membatin, menerka-nerka mungkin Sam sama kikuknya semenjak kejadian malam itu. Mengingat hal itu, ada hawa panas mengalir dari dada yang bergemuruh, membawa aliran darah yang berdesir hingga ke wajah.

Lentera di Atas SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang