Sebuah kotak makanan ditaruh seseorang pada meja kantin yang di tempati Gab. Kantin tampak kosong karena kantin itu belum di pakai oleh sekolah dalam MOS ini.Acara MOS di hari pertama ini, selesai. Namun, belum mampu melegakan hati Gab untuk tenang, karena besok MOS itu masih berlangsung.
"Makan!" Titah orang itu. Gab mendongak, mendapati wajah datar cowok yang masih membuatnya kesal.
"Tadi ga mau ngasih, kok sekarang ngasih?" Ketus Gab pada Skala. Ya, Skala lah yang memberi Gab sekotak makanan itu.
Gab masih kesal dengan kejadian diAula karena Skala. Mood Gab untuk makan sudah sirna begitu saja. Bagaimana tidak, saat semua orang makan, Skala tidak mau memberikan Gab makanan, dengan alasan hukuman Gab belum selesai.
"Makan deh, cepetan!" Tegas Skala cepat. Lalu duduk dihadapan Gab yang masih menatapnya dengan kesal.
"Gua ga mau makan, kalo lo ga ikhlas ngasihnya" tolak Gab sambil menjauhkan kotak makanan itu dari hadapannya.
Skala menghela nafas panjang, lalu menatap Gab dengan tatapan lembut. Sumpah demi apapun, tatapan itu sangat indah dimata Gab.
"Gabriella Athena Dizon, silahkan makan sekarang. Gua ikhlas kok ngasihnya" ucap Skala lembut, walaupun masih ada nada kesal disuaranya.Gab tersenyum mengembang yang dia tidak tau kenapa. Mungkin mendengar keikhlasan Skala untuk memberinya makanan atau suara Skala yang lembut padanya.
"Thanks" ucap Gab sambil membuka kotak makanan itu lalu memakannya dengan lahap tanpa menghiraukan Skala yang ada dihadapannya ini.
"Gila lo! Rakus banget" cibir Skala saat melihat Gab menghabiskan makanan itu dengan cepat.
"Gua laper, bukan rakus!" Ralat Gab sambil meminum sebotol air mineralnya.
Skala menggeleng pelan, lalu melengos pergi dari hadapan Gab tanpa kata. Namun, Gab sama sekali tidak menghiraukan Skala. Bukan urusannya juga, kan?.
Gab berdiri dari duduknya setelah menghabiskan satu kotak makanan yang membuatnya kenyang. Gab berbalik, dan sedikit terkejut dengan kehadiran beberapa orang di hadapannya.
Outlaws. Geng yang paling ditakuti seantero sekolah, berdiri tepat dihadapannya.
Wajah-wajah yang datar,dingin, tubuh yang tegap, besar, dan tinggi mampu membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri. Terkecuali Gab.
Jujur, Gab sedikit takut dengan mata-mata tajam yang siap menusuk bak elang disetiap kepala dihadapannya ini. Namun, bukan Gab namanya jika tidak terlihat baik-baik saja. Gab mencoba untuk biasa saja, kembali menatap mata tajam itu walau tubuhnya sedikit bergetar.
"Kenapa?!" Ketus Gab saat pemuda paling depan memandanginya intens sambil mengerutkan dahinya. Cowok itu terkekeh pelan.
"Lo cantik" ucap orang itu sambil tersenyum miring. Gab tampak tak suka dan membuang muka kearah lain. Berniat ingin pergi, Gab langsung melangkahkan kakinya menjauh dari hadapan orang-orang itu. Namun, tangan Gab dicekal oleh tangan besar dibelakangnya.
Gab berhenti, lalu berbalik, menatap orang itu dengan tatapan kesal. Gab menghempaskan tangan cowok itu agar menyingkir dari tangannya itu.
"Mau lo apaan sih?!" Ketus Gab. Orang itu terkekeh.
"Widih, galak banget"ujar salah satu teman dibelakangnya. Gab mendengkus.
"Gua cuma mau tau nama lo" ucap cowok yang memegang tangan Gab.
"Jangan ganggu dia!!" Suara sedikit serak namun keras dan berat itu menginterupsi mereka. Semuanya menoleh, mendapati Skala yang berjalan dengan kedua tangannya berada di saku celana abu-abunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKALA
Teen FictionAbout Skala. Bukan. Bukan sang pemerkecil gambaran permukaan bumi di atas bidang datar. Tapi, sang pemerkecil Rindu di permukaan hati.