Malam tak berbintang menemani langkah pemuda berusia sekitar dua-puluh-dua tersebut.
Pundaknya turun dengan deru nafas lelah, sorot matanya yang redup seakan memberi jawaban kepada siapapun yang melihatnya bahwa ia sedang di rundung suatu masalah.
Berita itu datang tanpa pemberitahuan.
Do Kyungsoo mencoba mencari celah-celah menguntungkan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang kertas untuk sang Ibunda di kampung halaman.
Adiknya, Do Jungwoo.
Dia jatuh sakit, dan membutuhkan biaya yang banyak untuk berobat. Sang Ibunda hanyalah seorang buruh tani di kampungnya, gaji yang tak seberapa dibandingkan dengan Kyungsoo yang bekerja di kota.
Tetapi, hidup tak semurah itu.
Do Kyungsoo memiliki tanggungan hidupnya, dan juga keluarganya di kampung.
Biaya hidup di kota tentu saja lebih mahal dari pada di tempat kelahirannya. Dan ia juga hanya seorang salah seorang pekerja di cafe dan gajinya tidak mumpuni untuk membiayai tanggungan tambahan tersebut.
Kyungsoo kehabisan ide.
Pernah beberapa kali ia ingin melakukan tindakan mengakhiri hidupnya karena tak sanggup dengan lonjakan biaya hidup yang mahal. Tetapi, ia tidak kuasa mengakhiri hidupnya karena mengingat keluarganya.
Jika ia pergi, maka ia akan menyerahkan tugas serta beban kepada Ibundanya.
Kyungsoo tidak mau membuat Orang lain menderita, tetapi ia juga tidak sanggup harus menderita sendirian.
Sejenak dirinya berhenti sebentar didepan etalase kaca, disana terdapat televisi keluaran terbaru yang menampilkan acara-acara hiburan yang tak pernah bisa ia saksikan di tempat tinggalnya.
Para selebritis hadir didalam beberapa saluran televisi dengan mudahnya, walaupun konten yang di hasilkan merupakan gimmick. Tanpa harus bersusah payah memamerkan bakat atau pun kemampuan diri, dan pada akhirnya mereka yang terkenal.
Kyungsoo segera menjauh dari faktor-faktor yang bisa menimbulkan penyakit hati bagi manusia.
Beruntungnya ia tidak memiliki televisi, sehingga ia tidak perlu memiliki salah satu penyakit hari.
Kemudian kedua kakinya melangkah menuju arah pulang, bukan arah pulang yang sesungguhnya. Ia pergi ke tempat tinggal sementaranya di kota, tempat kost sempit yang berada di daerah kumuh, tepatnya di ibukota jakarta.
Orang-Orang pernah bilang padanya bahwa jakarta merupakan kota yang indah, dan ia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan disana dengan merantau.
Persetan dengan semua yang pernah mereka katakan, pikir Kyungsoo.
Nyatanya apa yang selalu dibicarakan tak seindah yang di impikan, ibukota jakarta sesak dengan polusi, limbah, kendaraan, serta ramainya dari warga asing maupun warga lokal. Tak ada yang ramah di sini, bahkan biaya hidup sangat mahal, semua di nilai dari harta, tahta, dan martabat seseorang.
Dan ia tidak memiliki semua yang disebutkan.
Ia sudah sampai di tempat kumuh -tempat tinggal sementara di kota- disalah satu kawasan padat penduduk di kota jakarta.
Suara riuhan dari warga yang tinggal membuat langkahnya di percepat, bukan takut untuk berinteraksi. Kyungsoo menghindari omongan tak sedap dari para tetangga yang suka ber-gossip seenak jidat mereka.
Satu Anak tangga ia lewati, dan begitu seterusnya.
Kost-nya berada di lantai lima. Sehingga ia harus menempuh puluhan Anak tangga untuk segeea bisa merebahkan dirinya di kasur.
Ia juga malas saat bertemu bocah-bocah tak tau diri yang seenak jidat melewatinya tanpa mengucapkan 'permisi', untung saja ia tidak terjatuh dari tangga saat bocah-bocah tak tau sopan santun itu berlarian menuruni Anak tangga.
Baru saja kaki kanannya menyentuh lantai lima, tiba-tiba saja terdengar interupsi seseorang.
“Sudah tiga bulan kamu belum melunasi tagihan sewa tempat tinggalmu, dan saya tidak bisa mentoleransi waktu yang lebih lama lagi,” ocehan pemilik kost membuat kepalanya berdenyut nyeri.
Kyungsoo mencengkram erat pinggiran tasnya, “Tolong beri saya waktu lagi, dan saya akan melunasinya segera setelah saya mendapatkan uang,” pintanya.
Sang pemilik kost menatapnya tajam, dari ujung kaki hingga ujung rambut tak terlewatkan oleh pandangannya yang tajam. “Alasanmu sama seperti pemilik kost lain sebelum akhirnya pergi meninggalkan kost ini karena tak sanggup membayar,” sindir si pemilik kost.
Kyungsoo tak tau harus bagaimana. Ia juga tidak memiliki uang untuk bisa menempati tempat baru jika ia dipaksa untuk mengangkat kakinya.
“Saya benar-benar akan melunasinya segera setelah mendapatkan uang. Tetapi, tolong beri saya waktu lagi untuk mendapatkan uang tersebut,”
Sang pemilik kost sedang menimang-nimang keputusannya.
Tak lama ia pun akhirnya menyuarakan keputusannya. “Baiklah, saya beri kamu waktu dua minggu. Jika kamu tidak bisa melunasinya, maka siap-siap angkat kaki dari tempat ini, paham?”
“Paham Bu,” jawab Kyungsoo pelan.
Dan si pemilik kost segera pergi untuk menagih sewa kepada penghuni lainnya.
Kyungsoo berjalan menuju depan pintu kamarnya, ia buka dengan kunci.
Lalu ia segera masuk dan mengkunci pintunya, meskipun ia tinggal di tempat yang kumuh dan juga murah.
Tetapi tetap saja ia mengkhawatirkan pencuri yang tidak memandang tempat, jika lengah. Maka akan ada yang hilang.
Dan hari itu Kyungsoo memutuskan untuk istirahat.
Mengistirahatkan hati, jiwa, dan pikiran yang kalut dengan permasalahan hidup yang tak kunjung selesai.
Dan tidur hanya menjadi pelarian yang nyata baginya dari kejam penghuni bumi.
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Clinquant | ChanSooHun
Mystery / Thriller[ S L O W U P D A T E ] Ide cerita murni hasil imanjinasi Blue ⛔ Homophobia dan Plagiator Pergi Dari Lapak Ini ⛔ ⚠ Trigger Warning ⚠ Murder, Violence, Abuse, Harsh Words/Cursing. [ S I N O P S I S ] The butterfly effect, keputusan sekecil apapun ma...