Bagian 04

48 14 10
                                    

"Permisi, Assalamualaikum," ucap seseorang tersebut.

Ternyata seorang perawat, berjilbab panjang. Masuk menghampiri kami, dengan memegang tampan di tangannya berisi makanan.  Dengan senyum  menghiasi wajahnya. Sesaat aku tertegun melihatnya. Astaghfirullah, segera aku tepis perasaan itu, ada apa denganku? Segera ku alihkan perhatian ke arah lain.

"Mohon maaf, Ibu. Saya hanya ingin mengantarkan bubur ini, untuk anaknya."
Ucap wanita itu dengan lembut, sembari meletakkannya di atas nakas.

"Terima kasih, Suster cantik." jawab Haura balas tersenyum
"Tapi, tolong jangan panggil aku Ibu, kelihatannya kita seumuran?", sambung Haura lagi terdengar nada protes tanda tidak terima, jika dirinya dianggap lebih tua.

"Baiklah, maafkan saya kalau begitu." balas perawat itu lagi-lagi dengan senyuman khas itu lagi. Akhirnya, keduanya pun saling tertawa kecil. Melihat mereka seakrab itu, aku merasa ikut senang. Aneh ada apa denganku?

"Dimakan ya, anak manis, semoga lekas sehat." ucap perawat itu lagi seraya mendekat, mengelus sayang rambut tipis milik Amira.

"Oke Ammah, pasti Amira habiskan buburnya, terima kasih Ammah." jawab Haura, menirukan gaya bicara anak kecil.

"Anaknya lucu sekali Mba, bikin gemas." kembali perawat itu memuji keponakan kesayanganku. Amira memang menggemaskan. Siapa pun irang yang melihatnya, pasti langsung jatuh cinta. Pipi yang berisi, seperti bakpau, mata besar, serta bibir yang mungil. Adalah alasan kenapa setiap orang yang melihatnya selalu berkata 'gemas' Amira punya pesona, sama seperti aku pamannya tentu saja.

"Baiklah, kalau begitu, saya permisi dulu, Daah anak manis." sembari berjalan keluar, melambaikan tangannya pada Amira. Seakan di dalam ruangan ini hanya ada Haura dan Amira saja, dasar wanita aneh batinku. Aku perhatikan, sejak kedatangannya tadi, yang di sapa hanaya Ibu dan anaknya? Apa dia tidak bisa melihat adanya aku dan juga Azra?

"Daadadah.. ,Ammah cantik,"
Balas Haura sembari mengangkat tangan mungil Amira, ke arah  perawat itu.

Sejak kepergian perawat itu, mendadak ruangan hening untuk sesaat. Suara dari Haura memecah keheningan, membuat ku mendongakkan kepala ke arahnya. Melngalihkan perhatianku dari ponsel yang sedang aku mainkan.

" Abang tidak jadi balik ke kantor?"  pertanyaan dari Haura seketika membuatku tersadar pekerjaan di kantor sedang menanti untuk segera di selesaikan.

"Oh iya, ini Abang juga sudah mau pergi ko", jawabku sambil terburu pergi.

"Abang, tunggu!", cegah Haura, sebelum aku benar-benar hilang dari ruangan ini.

"Ada apa lagi, Haura?". Tanyaku bingung,

"Abang tidak mau pamitan dulu sama Amira?" tanya Ibu muda itu lagi.

Kutepuk jidatku, bagaimana bisa aku melupakam kebiasaanku, menyapa Amira sebelum berpergian?

"Ya ampun, ponakan kesayangan paman," ucapku dramatis seraya mengambil Amira dari gendongan Bundanyabsmbil menciumi pipi gembul Amira.

"Abang kenapa mendafak jadi orang yang melupakan Amira sih?" protes Haura kesal.

"Abang bukan lupa, cuman gak inget aja." jawabku asal , sedikit membuat Haura kesal adalah kebahagianku.

"Ish, mas Azra Abangnya nyebelin, udah mulai gak sayang lagi sama Amira." 
Ucapnya mengadukan pada suaminya. Mentang-mentang punya suami., dasar tukang ngadu.

"Sepertinya kita harus segera mencarikan istri untuk Abang, sayang." jawab Azra  sembari memeluk mesra istrinya,tersenyum jahil  melihat ke arahku.

Tentang SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang