Bagian 14

17 8 19
                                    

Assalamu'alaikum semua hai :)

Bantu vote, komennya ya

Maaf masih banyak typo 🙏

Selamat membaca
.
.
.
.

"Khai, semua barangnya sudah? Tidak ada yang tertinggal?"
Tanyaku pada Khaira, saat ini kami sedang bersiap untuk pindah ke rumah kami sendiri.

"Sudah Mas, insaallah tidak ada yang tertinggal",
Jawabnya di barengi dengan menutup koper terakhir berisi baju-baju. Kami segera membawa semua barang yang sudah di kemas ke dalam bagasi mobil. Setelah semua selesai, aku tidak langsung masuk ke dalam mobil. Aku menghampiri Khaira yang sedang berbicara dengan Umi. Awalnya Umi keberatan aku mengajak pindah Khaira, katanya terlalu cepat, dan Umi akan kesepian.

Tapi setelah diskusi panjang antara kami yang juga melibatkan Abi, akhirnya Umi dapat mengerti. Aku menghentikan obrolan Umi dan Khaira, bilang bahwa akan berangkat sekarang, Umi mengantar kami ke depan pintu.

"Nak, kalian yang akur ya. Kunci berumah tangga itu, harus saling terbuka dan percaya. Kalau ada masalah selesaikan dengan baik. Juga saling memaafkan jika ada salah satu diantara kalian berbuat salah, jangan gengsi untuk meminta maaf duluan. Bukan perkara, siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi siapa yang lebih dulu mau meminta maaf. Jangan sampai terkalahkan dengan emosi, setan selalu punya caranya sendiri untuk menggagalkan sebuah ikatan suci, bernama pernikahan."

Nasihat Umi kepada aku dan Khaira. Khaira langsung memeluk Umi dengan mata berkaca-kaca. Umi melonggarkan pelukannya, menagkup dagu Khaira, memandang netra yang berkaca, seraya berkata.

"Nak, Sifa, kamu adalah putri Umi, bukan menantu bagi Umi, kalau Malik menyakitimu larilah ke Umi. Umi akan selalu ada buat kamu, jangan pernah merasa sendiri, hm?"

"Umi lupa kalau Malik disini yang anak Umi?"
Selaku pura-pura merajuk pada Umi, kemudian mereka berduka tergelak

"Iya-iya, kalian berdua anak Umi, Umi menyayangi kalian." balas Umi diakhiri dengan kami saling berpelukan, ah seperti macam teletabis yang dikit-dikit berpelukan. Eh, reader tahu, kan teletebis? Oke gak usah di bahas disini .

***

Setelah menempuh perjalann sekitar 45 menit dari rumah Umi, akhirnya aku dan Khaira sampai di depan rumah bercat putih abu, rumahnya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Rumah ini sengaja aku pilih, karena jaraknya yang lebih dekat dari kantor, dan juga rumah sakit, tempat Khaira kerja.

Kami turun dari mobil dengan barang bawaan kami. Aku membukakan pintu dan mempersilakan Khaira untuk masuk lebih dulu.

"Assalamua'laikum", ucap Khaira dibarengi langkah kakinya masuk ke dalam rumah.

"Waa'alaikumussalam warahmatullah, ahlan wa sahlan ya jauzaty ",
Aku membalas salamnya, sambil mengucapkan kalimat selamat datang istriku dibarengi dengan senyum sumringah yang terpancar jelas di wajahku. Dia tersipu dengan membalas senyumku.

"Terima kasih, Mas. Rumahnya sederhana Khai suka",
Jawabnya dengan melihat keseliling rumah.

"Jangan berterima kasih Khai, ini sudah tugas saya, sebagai suami kamu, saya memang tidak bisa menjanjiakan, kalau saya akan selalu membahagiakan kamu. Tapi saya akan selalu berusaha untuk menjadi imam, suami, dan seorang ayah yang terbaik untuk kamu juga anak kita nanti."
Ucapku sambil menatap dalam mata istriku yang selalu mampu membuatku merasa tenang

"Bimbing Khai, agar bisa jadi istri yang baik Mas,"
Ucap Khaira padaku, dengan tatapan lembutnya.

"Kita sama-sama belajar jadi pasangan yang saling melengkapi ya, Khai."
Ucapku, membawa Khaira kedalam dekapanku. Khaira menganggukkan kepala, sambil membalas pelukanku.

***
Setelah selesai menata semua barang-barang, dan membereskan rumah. Saatnya untuk menunaikah hak perut yang sudah minta diisi.
Tadi Khaira menyempatkan untuk mbeli sayuran di warung Mbak Wati, tetangga kami.

Aku membantu Khaira memasak, awalnya dia menolak saat aku bilang ingin membantunya, tapi aku memaksa.

"Khai setelah diiris,terus diapain lagi cabainya?" tanyaku sembari sesekali mengusap mataku yang sudah berair karena pedas. Bukan menjawabku Khaira yang sedang mengalihkan matanya dari tempe yang sedang di gorengnya, malah terkekeh menertwakanku.

"Khai, ayo dong kenapa malah ngetawaainn saya, sih?", tanyaku sedikit kesal.

"Eh, iya-iya maaf, Mas. Abisnya kamu lucu kalau lagi nangis,"
Ucapnya sambil mencoba menghentikan tawanya.

"Aku gak nangis, Khai cabainya aja yang jahat bikin mata saya berair.", jawabku yang membuat Khaira menggelengkan kepalanya dengan ekspresi geli

"Sini, biar Khai yang lanjutin, Mas cuci mukanya, terus tunggu di meja makan aja, ya",
Katanya mengambil alih irisan cabai beserta bawang yang sudah aku iris. Aku menyetujui ucapannya, menunggu di ruang makan.

"Makasih udah mau bantuin masak, Masnya", ucapnya sambil menoel pipiku gemas, lebih tepatnya seperti sedang meledekku yang tidak berhasil membantunya hingga selesai masak.

"Kamu gak lagi ngelek saya, kan?" ucapaku sambil berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Khaira yang masih terkekeh.

***

Setelah beberapa menit menunggu, masakan Khaira matang. Kami yang sydah kelaparan sejak tadi langsung makan.

"Masakan kamu enak, Khai",  pujiku saat aku menyuapkan suapan pertama ke mulutku.

"Makasih, Mas, ini berkat bantuan Mas tadi",
Balasnya sambil menyengir.

" ja_

Ucapanku terpotong dengan suara orang yang mengucapkan salam di barengi dengan ketukan pintu yang di ketuk,
Aku menyerngitkan kening, lalu saling pandang dengan Khaira seolah satu pemikiran yang isinya, 'siapa yang bertamu' padahal kami baru saja pindah.

"Biar Khai yang buka pintunya," suara Khaira memubarkan rasa penasaran di otakku, aku mengangguk tanda setuju. Khaira bangun dari duduknya berjalan ke arah pintu

"Assalamualaikum," sapa orang yang ada diluar samar-samar aku mendengarnya.

"Waalaikumussalam warahmatullah", jawab Khaira di depan pintu.

Siapa yang bertamu?

Allo aku kembali, maaf ya kalau lama updatenya ;(

Tentang SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang