Bagian 11

26 8 31
                                    

Mohon koreksinya

Dukungannya vote cerita ini

Masih banyak kurangnya

Selamat membaca

*
*
*
*

Setelah turun dari atas bianglala, segera aku membeli air mineral, untuk menenangkan Khaira. Setelah cukup tenang , aku mengajaknya masuk ke mobil, saat ingin melajukan, tiba-tiba Khaira berbicara,

"Maafkan, Khai, mas sudah bikin mas jadi repot", ucapnya lirih tidak berani memandangku.

"Hei, kenapa minta maaf? Harusnya, saya yang minta maaf. Saya tidak tahu kalau kamu takut dengan ketinggian" kataku memegang dagunya, agar dia mau melihatku.

"Khai yang salah, harusnya kasih tahu ke Mas Malik, kalau takut ketinggian",
dia menjeda ucapannya

" Tadinya, Khai kira kalau ada Mas di sampingku rasa takutnya akan hilang, ternyata nggak. Maaf Mas",

Terangnya, terdengar penuh penyesalan, mendengarnya aku malah merasa senang. Entah kenapa aku berpikir bahwa aku adalah orang yang bisa dia percaya untuk melindunginya.

"Sudah, lupakan kejadian tadi ya. Sekarang kamu sudah merasa baik, kan?" dia mengangukkan kepala sebagai jawaban.

"Kita pulang sekarang!" kataku semabari menjalankan mobil.

***
Sesampainya di rumah, semua lampu masih menyala, menandakan sang empunya belum tidur.

"Assalamua'alaikum", ucapku di berarengi dengan mendorong pintu, dengan Khaira di belakangku.

"Waalaikumussalam, barakallahu, akhirnya kalian sampai juga di rumah. Kenapa lama sekali, apa jalanan macet?"
Umi menyambut kami, dengan seribu pertanyaannya, padahal aku kan sudah dewasa. Tapi, Umi masih selalu mengkhawatirkan ku kalau pulang telat seperti sekarang. Betapa lembutnya hati seorang ibu.

"Nak Sifa, pasti kamu sudah lelah, Nak. Lihat matamu, sampai sembab begini?"

Ucap Umi, setelah mengamati wajah menantunya yang memang terlihat berantakan, Umi beralih menatapku curiga.

"Ini pasti ulah kamu, Malik? Sebenarnya kamu membawa putri Umi, kemana?"
tuduh Umi padaku, sebenarnya yang anak Umi disini siapa sih?

"Malik cuman mengajaknya jalan-jalan sebentar, Umi"

"Harusnya, kamu bawa pulang dulu, Sifa ke rumah. Dia pasti capek seharian kerja",
Bela Umi lagi. Sambil menatap sendu Khaira.

"Iy-",
Ucapanku terpotong dengan suara Khaira yang sepertinya tidak ingin memperpanjang masalah keciil ini.

"Sudahlah Umi, Khaira senang ko di ajak jalan-jalan. Jadi, tidak sepenuhnya salah Mas Malik, ko Umi."
Aku dan Umi saling pandang, ada senyum jail di wajah Umi. Sedangkan yang membelaku hanya tertunduk.

"Maaf, Sifa gak bermaksud untuk menyela, Umi",

Sambungnya lagi dengan suara lirih.

"Tidak, Nak. Jangan meminta maaf, Umi mengerti sekarang." ucapnya masih dengan senyum jahilnya, mengusap sayang pundak Khaira.

"Sebaiknya kalian cepat mandi, segeralah beristirahat, kalian pasti lelah. Umi tinggal, dulu, ya.", ucap Umi berlalu meninggalkan kami.

***
Di kamar kembali kecanggungan terjadi diantara kami.
"Khia, kamu mandi duluan, gantian, aku mau isi botol air minum dulu, kebawah",

Ucapku, sembari mengambil botol wadah air minum di atas nakas, tanpa mendengar jawaban Khaira aku turun ke bawah.

Di dapur, ternyata ada Umi, yang sedang membuat susu, Umi menyadari keberadaanku.

"Kebetulan, Kamu turun, Nak. Tadinya Umi berniat mengantarkan susu ke kamar kalian", ucap Umi, tumben Umi mau repot-repot membuatkan susu buat ku, tidak biasanya.

"Kenapa repot-repot, sih Mi. Harusnya Umi istirahat, sudah malam Mi."

"Umi sedang menunggu Abi, katanya dia sudah di jalan", terang Umi

" Nih, sudah sana, cepat ke kamar. Sifa juga harus minum susunya loh, jangan di habisiin sendiri." perintah Umi, di sertai senyum aneh. Membuatku sedikit heran. Umi hendak meninggalkanku, tapi urung ketika dia beralih, ke arahku.

"Malik? Jangan lupa berdo'a, dan segeralah beri Umi cucu",
Katanya lagi sebelum benar-benar pergi dari hadapanku. Mendengar ucapan Umi, membuatku mengelus dada, untuk menenangkan perasaan yang mendadak jadi salah tingkah. Dengan sedikit perasaan berdebar, aku membawa langkahku untuk kembali menaiki tangga, sambil berpikir keras apa yang harus aku katakan pada Khaira, saat aku tiba-tiba membuatkannya susu?

Aku sudah berada di depan pintu kamar, dengan penuh keyakinan aku masuk dan kudapati Khaira telah selesai mandi, sudah memaki mukena sedang menggelar sajadah.

"Khai, kamu mau shalat?", tanyaku yang sebenarnya tidak penting.

"Eh. I-ya Mas, Ma, sudah isi minumnya?", tanyanya yang terlihat terkejut dengan keberadaan ku, apa dia tidak mendengar saat aku membuka pintu tadi?

"Kalau gitu, sekarang cepat giliran Mas, mandi Khai sudah siapkan air, dan ini baju gantinya" ,

Ucapnya lagi sembari menyodorkan baju ganti ke padaku.

"Makasih, Khai, kalau begitu kamu tunggu saya selesai mandi, ya, kita shalat bareng?"

"Iya, Mas, Khai bakal tunguin Mas, kalau gitu", katanya dengan senyum simpulnya. Aku bals tersenyum, dan langsung ke kamar mandi.

Beberapa menit berlalu, aku selesai mandi, saat keluar dari kamar mandi. Aku mendengar suara Khaira yang sedang membaca Al Qur'an, suara bacaannya menenngkan jiwaku. Aku melangkah mendekat, berdiri di sajadah yang sudah di sediaakn, menyadari kehadiaranku Khaira menyudahi bacaannya, menutup mushaf dan meletakannya di atas nakas.

Kami sudah siap untuk shalat, aku menengok ke belakang untuk melihatnya

"Kita shalat sekarang, Khai?"

"Iya Mas, Khai nanti keburu kentut, kalau di tunda lagi" jawabnya sambil mengerucutkan bibirnya.

***

Setelah selesai shalat, Khaira membereskan peralatan shalat kami, aku berjalan ke arah nakas untuk mengambil susu buatan Umi yang sudah mulai dingin. Aku menenggaknya setengah, setengahnya untuk Khaira.

"Khai, di minum dulu, susunya sebelum tambah dingin",  Khaira hanya bergeming sesaat, setelahnya langsung mengambil susu dari tanganku, menengaknya habis.

"Makasih, Mas", ucapnya aku baru menyadari Khaira sudah melepas mukenanya, ini baru pertama kalinya dia melepas jilbabnya di depannku, aku tertegun melihatnya. Tanpa sadar aku memujinya.

"Cantik",
"A-pa Mas, mas ngomong sesuatu?" tanyanya dengan pipi yang sudah besemu.

"Iya, kamu, cantik istriku", godaku lagi, di terlihat salah tingkah dan berniat untuk menjayh dariku, namun aku segera meraih tangannya, mngisyaratkan untuk duduk di dekatku, tidak ada lagi jarak diantara kami, saling menatap dan membalas senyum. Tidak ada kata-kata diantara kami. Hanya bahasa tubuh yang saling bicara. Semoga Allah selalu memberkahi pernikahan kami.

🌵🌵🌵🌵🌵

Assalamualikum, maaf baru update

Ksih saran dong, ceritanya terlalu membosankan? Alurnya harus ada yang di ubah?
Kasih saran lewat komentar

Maaf masih banyak tipo
Salam sayang, dari aku yang masih buanyak kurangnya🙏😘





Tentang SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang