"Sekarang Sifa, ingat?"
Tanya laki-laki yang sedang terbaring lemah, di balas dengan anggukkan kepala oleh gadis itu."Sekarang sudah saatnya Abah mewujudkan keinginan Abah. Menikahlah nak, mungkin waktu Abah sudah tidak lama. Menikahlah dengan Malik." ucapa Pak Ahmad, diiringi deru napas berat. Suasana hening, tiba-tiba di kejutkan dengan suara monitor pendetak jantung berbunyi panjang, pertanda seorang pasien sedang kritis.
"A..b..a..h..", teriak Sifa panik melihat kondisi sang Abah yang kritis. Membuat aku dan Rio segera berlari ke dalam menghampiri.
" Rio tolong panggilkan dokter!" perintahku berreriak. Segera Rio berlari untuk memanggil dokter. Aku mendekat ke arah Pak Ahmad, membisikkan sesuatu di telinganya, sedangkan putrinya setia menggenggam erat tangan beliau sesekali mengatur napas, mulai sesak dengan tangisan.
"Bapak yang kuat, sebentar lagi dokter akan datang". Ucapku di telinga beliau. Ya wahai Allah sang Maha Pemberi kesembuhan, berilah kesembuhan untuk pak Ahmad, lirihku memohon pertolongan kepada sang Maha pencipta. Terdengar pintu terbuka, dokter menghampiri kami.
"Mohon selain pasien, harap tunggu di luar!" ucap dokter mengusirku dan Sifa.
"Apa boleh saya tetap disini, saya tidak mau meninggalkan Abah" ucap gadis itu dengan suara parau.
"Mohon maaf, tidak bisa ini sudah menjadi peraturan rumah sakit." tegas dokter itu lagi.
"Ta..
Belum sempat melanjutkan perkataan nya dokter lebih dulu menyela.l,"Tolong pengertiannya, segera keluar demi keselamatan pasien." ucap dokter dengan nada prustasi. Raut kecewa bercampur sedih terlihat jelas di wajah gadis itu. Dengan berat hati dia melepaskan genggaman tangannya dari sang Abah, lalu keluar diikuti aku.
Setalah di luar, keheningan terjadi aku duduk di kursi tunggu bersama Rio, sedangkan gadis itu hanya berdiri mematung di dekat pintu.
"Kenapa Abah gak bilang ke Sifa, kalau Abah punya riwayat jantung? Dokter bilang waktu Abah tidak lama lagi.",
Ucap gadis itu memecah keheningan, mulai terisak meluapkan segala isi hatinya, yang membuat dia merasa khawatir sejak tadi. Aku menoleh ke arahnya, metapnya dengan tatapan prihatin."Umur itu hanya Allah yang tahu, Fa.",
Merasa tak setuju dengan ucapannya."Serangan jantung yang menyebar ke saluran pernapasan, membuatnya susah untuk bernapas. Abah mengalami pembengkakan darah di paru-paru, kan?",
Lanjutnya terdengar putus asa. Aku tak tahu harus bicara apa, kerena semua pernyataan Sifa benar, tidak ada cara lain, kecuali Allah berkehendak lain. Gadis itu menunduk, sambil mengepalkan tangannya yang gemetar." Maa Qodarallah ya khair, Fa. Semua ketentuan Allah itu baik. Apa pun yang di gariskan oleh Allah adalah ketentuan terbaik-Nya, untuk hidup kita. Allah tak akan membuat hamba-Nya menderita sia-sia. Pasti ada hal yang indah di balik semua ketentuan-Nya."
Ucapku, berusaha untuk menenangkan. Kulihat gadis itu tertegun.
"Abah bilang, dia ingin mewujudkan keinginan terbesar dalam hidupnya," ucap gadis itu mengatur napas, kemudian melanjutkannya.
"Sifa mau mengabulkan keinginannya, dengan menikahi laki-laki pilihan Abah, yaitu mas
Malik. A..p..a mau?" tanya gadis itu ragu, dan aku terkejut mendengar perkataannya sama halnya dengan Rio, dia sontak berdiri dari duduknya."Apa kamu yakin ingin menikah dengan saya? Dengar Sifa, pernikahan bukanlah sesuatu yang main-main."
"Kalau mas Malik, tidak bisa aku Sifa bakal cari laki-laki lain kalau gitu."
Ucapanya serius."Baiklah, saya setuju. Saya harap kamu tidak menyesali keputusan mu ini.", tiba-tiba pintu terbuka, memunculkan seorang perawat yang menyuruh kami agar masuk menemui pak Ahmad.
"Sifa akan mewujudkan keinginan Abah, Sifa mau menikah dengan mas Malik, sekarang juga.",
Ucap gadis itu menggenggam erat tangan Abah, sambil sebelah tangannya dia gunakan untuk mengusap kedua matanya yang sudah tak terkontrol.Pak Ahmad memberi isyarat untuk melepas alat pernapasan yang menpel di hidung. Dengan tatapan sendu pria itu menatap lekat wajah putrinya.
"Sifa menerima mas Malik, lelaki yang Abah pilihkan untuk menjad imam Sifa. Sifa percaya pilihan Abah yang terbaik.",
Dengan bercucuran air mata gafis itu berbicara. Suara ketukan pintu terdengar, Amar, Rio,dan Haura yang menggendong Amira datang. Sengaja aku menyuruh Rio untuk mengabari mereka. Setelah semua berkumpul di dalam ruangan.Flash Back Off
Dokter yang akan menjadi Pak Penghulu, sementara Rio dan Amar menjadi saksi.
"Bagaimana dengan maharnya?", tanya Haura. Ada Mushaf Al Qur'an berukuran kecil di dalam saku jasku. Yang selalu aku bawa setiap hari.
"Kamu tidak keberatan jika mahar dari saya hanya sebuah Mushaf dan hapalan Al Qur'an?"
Gadis itu mengangguk merasa tidak keberatan sama sekali. Pak Ahmad benar-benar terlihat sangat pucat. Masih dengan terbaring dengan suara terbata beliau menjabat tanganku. Aku pun membacakan sepukuh ayat pertama surat Al Baqarah, sebagai mahar.
" Saya terima nikahnya Sifa Khaira Ahmad dengan mas kawin tersebut, tunai.",
🌵🌵🌵🌵🌵
Assalamualikum, selamat sore maaf aku update ulang bagian ke 08 karena terjadi kesalahan yang pertama 🙏🙏
Masih ada typo mohon di maafkan ;)

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Setelahnya
Ficción General"Sendiri bukan berarti kesepian. Namun, terkadang sebagian orang mengangap kesendirian itu sebagai 'aib' di cap tak laku. Begitulah yang sedang dirasakan oleh Pemuda bernama Malik Rajaindra. Duda tampan, mapan, dan soleh. Kegagalan dalam berumah tan...