ch. 11

3.5K 444 3
                                    

"Udah ada janji?"

Raka menyejajari langkah Race keluar dari ruang meeting. Race meliriknya sekilas.

"Janji apa?"

"Janji lunch bareng."

Race menggeleng. "Belum. Emang kenapa?"

"Lunch sama gue aja."

Race ber-"hm" panjang. "Boleh. Mau makan di mana?"

"Lo maunya di mana?"

"I want to know what your recommendation."

"Okay. Sit tight." Raka tersenyum. "Gue ambil mobil dulu, ya?"

"Pake mobil gue aja, di basement. Biar nggak bolak-balik, kan?"

Raka mengangguk. "As you wish."

Mereka berdua masuk ke dalam lift, yang saat itu hampir penuh karena sudah jam makan siang, lalu turun ke B1, basement tempat Mazda Race terparkir.

"Lo ada angin apa, kok tiba-tiba ngajakin lunch bareng?" tanya Race sambil memakai seatbelt-nya.

"Nggak pa-pa. Just need a new company," jawab Raka santai. Tangannya menarik tuas untuk memundurkan jok mobil, since kakinya lebih panjang dari Race. "Lucu juga, kita udah lama ngantor sebelahan tapi baru ketemu pas proyek ini."

"Kita beda habitat, sih. Emang lo udah berapa lama kerja di sana?" Race bertanya sambil menyalakan lagu dengan volume pelan.

Raka menjalankan mobilnya perlahan. "Enam tahunan, lebih. Gue langsung kerja di sini abis ngambil S2. Bolak-balik antara SG sama Jakarta, sih."

"Emang lo kuliah di mana, sih?"

"Di University of New York. S2 di Yale. Denger-denger, lo lulusan Melbourne?"

Race mengerling. "Denger-denger dari mana?" Raka hanya meringis, tapi Race menjawab, "Iya. Tapi cuma S1, terus gue lanjut S2 sambil kerja, di sini. Lo di Yale kerja juga?"

"Iya, tapi nggak kerja yang kayak gini, sih. Paling cuma bantuin person in charge, ngambil tugas yang ringan-ringan, karena gue mau fokus kuliah, nggak mau berkarir di sana." Raka menghentikan mobilnya setelah tadi berjalan dengan tersendat-sendat. Jalanan ibu kota selalu padat, apalagi tiga waktu krusial pada jam kerja. Raka menoleh kepada Race. "Abis ini lo ada meeting?"

"Nggak, sih. Palingan sore, itu pun kalau jadi. Cuma meeting internal, sih."

Raka mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan, jalanan sudah terbuka lebar untuk beberapa ratus meter. "Kenapa ya, kok takdir kita baru bersinggungan sekarang?"

Race menatapnya geli. "Serius, nih? Jadi selain goofy, lo juga cheesy?"

Raka meringis. "Okelah, let's change the topic. Lo ada saudara?"

"Nggak ada, gue anak tunggal." Race menatap Raka, menunggu penjelasan yang sama dari mulutnya.

"Gue ada adik, dua, cowok semua. Yang pertama lagi kuliah di Canberra dan katanya mau ambil kerja di sana. Yang kedua lagi kuliah London, ambil double degree dari Depok," jelasnya. "Lo tinggal di apartemen, berarti rumah orang tua lo jauh?"

"Iya, orang tua gue di Bogor. Terus gue keterima kerja di sini. Tadinya gue mau bolak-balik gitu sih, tapi kata papa gue jangan, nanti capek. Terus om gue ada apartemen di sini, ya udah disewa, deh." Race mengangkat bahu. "Lo juga tinggal di apartemen, kan?"

"Iya, orang tua gue di Tangerang, jauh kalau dari kantor yang sekarang walaupun bisa aja bolak-balik. Tapi nggaklah, efisiensi waktu. Mama gue minta buat gue tinggal di rumah sih, tapi papa gue diem-diem nyamperin gue buat nyuruh gue beli apartemen aja." Raka mengulum senyum geli. "Gue masih geli kalau inget-inget itu."

Race ikut tertawa geli.

"Nah, sampai deh kita." Raka menghentikan mobilnya di pelataran parkir Sweet and Sour.

"Sweet and Sour banget, nih?"

Raka mengerling. "Katanya lo suka nongkrong di sini."

Race mengangkat alis. "Kata siapa?"

Raka hanya meringis.

Race memutar bola mata. "Bilang aja Archi, susah banget."

Raka terkekeh. "Gue penginnya bilang kalau gue riset sendiri sih, tapi nggak boleh nyuri copyright orang lain, kan?"[]

turn down the negativityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang