Pasti kalian pernah rungsing karena perkataan orang lain, kan?
Padahal orang itu tidak dekat-dekat amat dengan kita, bahkan hanya tahu nama, tapi orang itu seperti merasa sangat mengenal kita sampai bisa memberikan saran tentang kehidupan yang kedengarannya pun omong kosong.
Raka sebenarnya tidak ingin meragukan hubungan ini, seperti yang telah dia katakan pada Race tempo hari, tapi orang-orang yang kerap berkomentar tentang hubungannya membuat Raka linglung.
Bahkan tanpa sadar dia mulai meragukan hubungannya dengan Race.
Tanpa sadar dia memikirkan ulang hubungannya dengan Race, betapa lancar pendekatannya, betapa tidak ada rintangan saat ingin menjadikan Race pasangan, betapa gampangnya diterima di dalam keluarga besar Race. Raka merasa dia bahkan tidak mengeluarkan effort lebih untuk semua itu, tidak ada perjuangan, tidak ada air mata dan darah. Padahal Raka pernah membaca di suatu buku, bahwa kalau dia adalah jodohmu, kau harus berjuang mendapatkannya, mengorbankan air mata dan darah. Tapi setetes keringat pun tidak dia keluarkan untuk mendapatkan Race beserta restu.
Bahkan pada saat mereka menjalin hubungan pun, mereka baik-baik saja, selalu saling mengerti, saling menghargai. Tadinya Raka menganggap itu hal bagus, tapi sekarang Raka tidak yakin.
Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Kenapa, sih?" Race memutar tubuhnya, sepenuhnya menghadap Raka, sepenuhnya mengabaikan televisi yang masih menayangkan film dokumenter tentang wild life. "Dari tadi kamu tuh ngelamun terus, loh. Bahkan dari kemarin."
Raka menatap Race, lalu menghela napas. "Nggak pa-pa."
Race mengerutkan kening. "Sekarang kamu kayak cewek yang sukanya jawab 'nggak pa-pa'."
"Emangnya cowok nggak boleh jawab 'nggak pa-pa'?" Tanpa sadar Raka menyentak.
Race melebarkan matanya kaget. "Hei, aku cuma bercanda. Maaf, deh. Kamu lagi nggak mood, ya?"
Raka mengusap wajahnya kasar. "Kayaknya aku capek. Aku mau tidur duluan, ya."
Race bersedekap. "Aku tahu sekarang."
Raka menatapnya tak mengerti.
"Aku tahu, kamu mikirin apa yang aku pikirin waktu itu, kan? Sekarang temen-temen kamu yang nanyain itu ke kamu, kan?" Race bertanya bertubi-tubi.
Raka menatapnya lelah. "Aku beneran capek sekarang, Ce."
"Emangnya aku nggak capek? Sampai sekarang temen-temen aku masih nanyain itu ke aku, terus ditambah temen-temen kamu nanyain itu ke kamu. Sampai sekarang aku masih bete soal itu, dan sekarang kamu juga badmood soal itu." Race terdiam. "Terus, sekarang apa?"
"Kita bicarain ini besok, ya."
Race menipiskan bibir. "Bahkan aku nggak tahu kenapa kita mikirin ini."
"Makanya, mungkin kita sama-sama lagi capek, Ce. Mungkin besok pikiran kita bakalan lebih fresh setelah tidur."
Race terdiam menatap Raka. "Do you need time?"
"For what?"
"For thinking?" jawab Race, yang bahkan terdengar ragu di telinganya sendiri.
"Ce, jangan nanya aneh-aneh. Aku nggak butuh waktu untuk berpikir, lagipula, berpikir tentang apa?"
Race tersenyum tipis. "Okay, then. If so--"
"Ce, nggak," Raka menggertakan gigi. "Don't ever think about it."
"I need that time, Raka," kata Race serius. "Time to think. Rethink what will we do next."
"I don't."
"I know you feel the same thing, My Dear," jawab Race lembut, tangannya mengelus pipi Raka. "Let's take a break."
Raka menipiskan bibir. "Break is just a denial for break up."
"Then, let's break up."
Raka menatap mata Race. Race balas menatapnya serius. Lama mereka hanya bertatapan, sampai kesepakatan terjalin antara tatapan mata itu. Race leaned forward, take a peck on his lips. Then she pulled away, and whisper between their lips, "Good bye, My Dear."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
turn down the negativity
RomanceTurn down the negativity so that you can turn up a happy and healthy life. [] Race Ayudia, an independent, smart, and cold-headed woman. She has a good life, and she has a tendency to make her life better. Raka Antariksa, a confident, calm, and c...