ch. 24

2.1K 272 0
                                    

Race masih baik-baik saja seminggu yang lalu, di mana hanya Gina yang berkata hubungannya tidak baik-baik saja. Tapi sekarang, Race tidak yakin.

Sudah tiga orang yang menanyakan hubungannya dengan Raka. Ketiga orang itu punya pertanyaan yang sama: lo beneran masih pacaran? Kok kayak cuma temen doang, ya, nggak kelihatan berantemnya.

Race hanya bisa tersenyum dan membalas singkat: ya gue kan profesional.

Malam ini, tidak seperti malam-malam sebelumnya, Race memerhatikan Raka yang sedang duduk di sofa apartemennya, membuka kaos kaki dan meletakkannya di meja, lalu membuka kancing kemejanya satu-persatu. Kemudian pria itu mengambil kaos kaki dan jasnya, berjalan ke arah kamar mandi, dan membersihkan diri di sana sampai sepuluh menit ke depan. Race menghela napas, lalu merebahkan tubuhnya di punggung sofa.

Saat makan malam, Race memerhatikan Raka yang makan dengan lahap. Pria itu makan dengan sopan, tidak mengecap, tidak menghasilkan terlalu banyak suara dentingan, fokus pada makanannya, dan overall, terlihat sempurna.

Lalu Race memerhatikan lagi saat Raka membawa piring Race serta ke wastafel, untuk dicuci tanpa disuruh karena dia tahu itu tanggung jawabnya setelah Race memasakannya makanan.

Raka itu gentleman. Dia tahu porsinya sebagai pria, dia tahu bagaimana cara menghargai wanita, dia tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik, bahkan untuk wanita yang tingkahnya bitchy sekalipun. Dia tahu bagaimana cara meng-handle segala jenis manusia di muka bumi ini.

Bagaimana Race bisa meragukan pria ini, dan hubungan yang telah mereka bangun?

Raka tidak jaim. Memang kepribadiannya yang seperti itu. Race juga tidak jaim. Race memang elegan dan classy as an independent woman.

Apa yang membuat hubungan mereka salah?

"Kenapa sih? Dari tadi aku sadar loh kamu merhatiin aku mulu. Nggak biasanya," kata Raka setelah mencuci piring, lalu duduk kembali di kursinya, di hadapan Race.

Race menyesap cokelat panasnya, minuman favoritnya. "Kamu ngerasa nggak hubungan kita salah?"

Raka mengernyit. "Salah? Nggak. Aku nggak ngerasa salah sama hubungan ini, ataupun menyesal, ataupun ngerasa nggak baik."

Race melipat tangannya, tubuhnya condong ke depan sementara matanya menatap lekat mata Raka.

"Kok aku ngerasa ada yang salah ya sama hubungan ini?" Raka menaikkan alisnya. Race melanjutkan, "Kita nggak pernah berantem, dan selalu adem ayem aja, dan senantiasa damai. Kamu nggak ngerasa salah sama itu?"

Raka menggeleng tegas. "Nggak. Aku nggak ngelihat salahnya di mana."

Race menundukkan mata sebentar, sebelum menatap Raka lagi dan mengulas senyum. "Mungkin cuma perasaan aku aja."

"Perasaan kamu juga penting, Race," Raka mengambil tangannya, menggenggamnya. Lihat, Raka selalu bisa memperlakukan wanita dengan baik. "Coba jelasin ke aku, gimana perasaan kamu sekarang."

Race menghela napas. "Aku cuma bingung, kenapa kita kayak nggak ada perdebatan gitu. Kita nggak pernah berselisih paham, kalaupun ada, nggak yang besar dan kita nggak pernah marahan. Aku mulai ngerasa ada yang nggak beres dalam hubungan ini."

"Kalau hubungan ini nggak beres, berarti ada yang salah dengan kita berdua. Tapi menurutku, hubungan yang sehat adalah hubungan yang nggak banyak cekcok. Karena itu berarti kita bisa menghargai dan menghormati pasangan masing-masing. Kita tahu setiap manusia itu berbeda dan kita berusaha memakluminya. Ya, kan? Kita nggak bisa selalu minta pasangan kita untuk nurut sama kita. Yang kita bisa adalah menghargai pasangan kita, dan nanti mereka akan menghargai kita balik. Ya, kan?"

Race tersenyum. "Benar sekali. Bapak Analis satu ini memang pintar menganalisis sesuatu, ya."

Raka terkekeh. "Ibu Analis satu ini juga pintar mengkritisi sesuatu."[]

turn down the negativityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang