Seventeen - [To Sad to Cry]

38 14 56
                                    

"Hubungan tanpa perasaan ini harusnya berkahir dari awal. Kenapa aku masih ingin bertahan?"

***

Jiyya mengangkat tumpukan piring. Sengiran ia paparkan ke Melati yang sudah di depan Wastafel.

"Makasih Jiyya, udah mau bantu Ibu cuci piring," turut Melati.

Jiyya tersenyum simpul. Dia menaruh tumpukan piring itu ke samping Melati. Melati mengintip keluar. Dia melihat Ragi sedang duduk di teras sambil bermain game di Ponselnya.

Melati menatap Jiyya dengan lirih. Dia memegang dagu Jiyya, Jiyya pun menatap baliknya. Jiyya menaikan salah satu alisnya, dia bertanya dalam hati kenapa Ibu Ragi menatapnya seperti ini. Mata Melati berbinar, dan hidung nya mulai memerah.

"Ibu tidak apa-apa?" tanya Jiyya dengan sedih.

Melati menggelengkan kepala. "Ibu tidak apa-apa. Tapi kamu?"

"Aku?"

Melati memeluk Jiyya. Seketika Jiyya terkejut. Belum dia bertanya, Melati membisikan sesuatu yang membuat Jiyya terheran. " Maaf Ibu, Nak. Maaf."

"Ada apa--"

"Ibu tau yang membuat kamu seperti ini Ragi," bisik Melati. "Ibu tahu Ragi sering memukulmu."

Jiyya terkejut. Tubuhnya membatu. Bagaimana Melati tahu soal ini.  Dia tidak pernah cerita pada siapapun. Bahkan ke orang tuanya sendiri. Apa mungkin Ragi? Tapi mustahil jika Ragi cerita ke ibunya kalau dia memukili pacarnya.

Melati melepas pelukannya. Air mata keluar saat ia melihat Jiyya yang gelagapan. Melati memegang pundak anak itu.

"Ibu tahu sendiri. Tidak ada yang cerita."

Tubuh Jiyya gemetaran. Dia takut bukan karena ibu Ragi tahu bahwa dia dipukuli Ragi. Tapi Ragi yang dengar bahwa Ibunya tahu dia memukili Jiyya.

"Ini salah ibu. Ibu salah membesarkan anak," lirih Melati

"Ii ... Ibu tidak salah … hanya--"

Melati menggeleng. "Harusnya dia lebih menghargai perempuan." Melati tersenyum simpul pada Jiyya.

Jiyya terbengong. Dia bingung harus berbuat apa atau bersikap seperti apa. Pertama kali dalam hidupnya dia menghadapi situasi seperti ini.

Melati mengusap air matanya. Lalu memegang kedua tangan Jiyya. "Jiyya ibu tahu kamu mencintai Ragi. Tapi apa kamu yakin Ragi juga?"

Jiyya berusaha tersenyum. "Aa … bukannya iya, Bu … Ragii--"

"Iya mungkin, tapi caranya salah. Perempuan harusnya menjadi Ratu. Aku tidak mau melihat diriku yang kedua."

Melihat Jiyya, ia jadi teringat dengan suaminya. Bagaimana dia di bentak dan dipukuli. Memar pada Jiyya, sama seperti yang pernah ia dapatkan dulu. Naluri seorang Ibu dan wanita, membuatnya tahu betul apa yang terjadi.

"Jiyya ini demi kebaikanmu," Melati mengehla nafas panjang. Membuat jeda yang cukup lama ke perkataan berikutnya. "Putus dengan Ragi."

***

"Gue tahu Ragi nyiksa lo!" seru Daffa.

Jiyya baru saja keluar kelas. Baru beberapa langkah keluar, Daffa datang dan mengatakan itu. Jiyya merenguk dan memalingkan wajahnya. Dia bersikap seolah tak mendengar apa yang dikatakan Daffa.

Daffa memegang pundak Jiyya. "Jii … lo kenapa mau diginiin. Lo beda sama yang dulu gue kenal."

Jiyya menyingkirkan tangan Daffa. "Yaudah anggap aja lo gak kenal gue!" bentak Jiyya.

Daffa belum menyerah dengan gertakan Jiyya. "Gue peduli sama lo. Jangan self harming gini."

"Emang kenapa?"

"Masih banyak orang yang peduli dengan lo, termaksud gue. Gue peduli sama lo. Gue gak mau lo diginiin. Dia nyakitin lo, dan lo tetap sama dia, sama aja Lo nyakitin diri sendiri."

"Gue gak ngerasa di peduliin. Ini kehidupan gue, jangan ganggu."

Jiyya membalikkan badan dan berjalan pergi. Daffa memegang lengan Jiyya. "Jiyya dengerin gue."

Jiyya menepis lagi. "Udah gue bilang, jangan ganggu gue!" bentak Jiyya.

Jiyya berlari kencang menjauh dari Daffa. Kadang dia merasa tidak tahan dengan perlakuan Ragi. Hampir setiap hari dia menangis ini. Apa dia salah dengan keputusannya tetap bersama Ragi? Ragi cuma beda. Dia mengutarakan perasaan dengan cara beda. Walau menurut orang Ragi salah. Tapi bagi Jiyya tak masalah. Selama Ragi masih setia padanya. Dia gini karena tidak ingin Jiyya pergi. Itu, 'kan? Apa itu salah? Cuma cara Ragi saja yang beda?

Jiyya terus menyakinkan diri dengan kata-kata itu. Walau di hati paling kecilnya dia tahu bahwa Ragi salah terus membentaknya, dan memukulnya. Fisik, hati, mentak, semua kacau. Di hati kecil terdalam Jiyya, dia berharap semua ini berakhir. Tapi kapan?

Jujur, Jiyya merindukan Kiki. Kiki biasanya ada di saat-saat dia merasa jatuh seperti ini. Tapi bukannya Jiyya sendiri yang membuat Kiki pergi. Karena saat Kiki merasa jatuh dan butuh seseorang, dia sebagai sahabatnya malah bersenang-senang dengan yang lain. Mungkin saat ini Jiyya tak pantas di sebut sahabat. Ini balasan untuk pengkhianat bukan?

Jiyya berhenti di gerbang kampus. Dalang dan awal mula penderitaannya berdiri di sana. Dia tersenyum seolah tidak merasa bersalah dengan semua lebam yang ada pada tubuh Jiyya.

"Bima lo kenapa ke sini?" tanya Jiyya dengan nada tidak suka.

Bima terkekeh. Itu membuat Jiyya kesal. Tapi di sisi lain dia takut Ragi melihat dia bertemu dengan Bima. Jiyya melinguk ke sana sini. Memastikan tidak ada Ragi. Atau tidak dia akan mendapatkan memar baru malam ini.

"Lo gak bakal ketemu Ragi," seru Bima.

Jiyya melinguk ke Bima. "Lo ngomong apa?"

Bima cengengesan. "Dia gak ada di sini."

"Lo tahu dari mana?"

Bima mendekati Jiyya. Jiyya mundur selangkah demi selangkah. "Gue ke sini mau kasih lo kejutan."

"Lo jangan deket-deket gue!" bentak Jiyya.

Bima berhenti, dia menyengir. Lidahnya mengusap bibir tebalnya. "Lo ikut gue. Gue bakal tunjukkin sosok sebenarnya Ragi."

"Lo jangan ngomong gak bener!"

"Gue gak bakal apa-apain lo. Dan gue pastiin Ragi gak bakal lihat lo di sana."

"Enteng banget ngomong lo."

"Jelas, lo tahu kenapa?" Jiyya menggeleng. "Karena dia sibuk sama yang lain."

***

Kiki merapikan botol minuman yang baru datang ke rak. Sesekali dia mengusap debu-debu di Rak dengan tangannya sendiri.

"I'm to sad to cry, too high to get up," senandungnya.

To Sad To Cry - Sasha Sloan, akhir-akhir ini menjadi lagu favoritnya. Lirik dalam cerita itu sama dengan yang ia rasakan.

"Don't even try 'cause I'm scared to fuck up," sambungannya.

Senandungnya berhenti, dia melihat ke arah kasir. Suara tawa dua anak berseragam. Sekilas ingatan masa lalunya jatuh. Itu mengingatnya dengan dia dan Jiyya dulu. Sebelum semua masalah ini berdatangan.

Kiki mendekat ke arah kasir. Wanita berkepala tiga- mbak Lia, begitulah kiki memanggilnya- Kiku mendekatinya.

"Mbak aku izin pulang cepet ya," ujar Kiki dengan senyum simpul.

"Lah, Nok, emang ada urusan apa?" tanya balik mbak Lia dengan sewot.

Kiki menyengir lebar. "Ada pengajian buat Bapak."

Mbak Lia terdiam sejenak. Lalu membalas senyum. "Yaudah gak papa. Semangatnya ya, Nok."

Kiki mengangguk dan tersenyum lebar.

***

TBC
Part by : RashyQuila1

No Sweet Candy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang