Twelve - [Why You Love Him?]

44 16 67
                                    

"Kenapa kau mencintai orang yang menyakitimu?"

***

Cowok pemilik mata hazel itu menatap seorang cewek yang beberapa hari ini terlihat suram. Biasa cewek itu sering mengoceh, dan mengomentari rambut panjang Daffa ini. Walaupun cuma bagian tengah rambut Daffa yang panjang dan ia kucir ke belakang. Kanan kirinya ia potong tipis.

Kelas selesai, Daffa buru-buru mendekati Jiyya. Karena akhir-akhir ini Jiyya suka cepet keluar kelas. Setiap kali diajak untuk mengobrol terlebih dahulu, Jiyya pasti mengelak dan segera berlari menjauhi teman-temannya. Entahlah, hal itu sudah menjadi perhatian Daffa beberapa hari ini.

"Pagi, Nenek Lampir," sapa Daffa.

Jiyya menatap sinis Daffa. Matanya sangat suram, dengan mata panda di bawahnya. Wajahnya juga agak pucat. Jiyya memang tidak suka pakai make up. Tapi, biasanya dia tidak sepucat ini.

Jiyya mengabaikan sapaan Daffa dan buru-buru merapikan barangnya. Karena pacarnya sudah menunggu dia.

"Lo kok suram gitu, sih?" tanya Daffa. Tapi Jiyya tidak membalas. Daffa menggaruk kepalanya. "Gue tau lo pasti masih sedih soal Kiki."

"Emang dia kenapa?" tangan Jiyya dengan cepat.

"Ish! Lo pura-pura gak tahu atau apa, sih?"

Jiyya melirik Daffa. "Maksud lo?"

"Sebelumnya gue turut berduka cita soal bokapnya Kiki yang meninggal minggu kemarin. Gue dengan Kiki udah gak kuliah, bener?"

Jleeb

Jiyya mati rasa, seperti ada pedang yang menusuk dadanya. Rasanya sakit, dia tidak percaya dengan yang di katakan Daffa. Jiyya sangat tercengang, sampai buku yang ia pegang terjatuh ke lantai.

Sejak ia pacaran sama Ragi, Jiyya udah tak tahu kabar Kiki bagaimana. Kiki sempat mencari dia selama seminggu. Tapi, Jiyya abaikan. Jiyya merasa enggak enak pacaran sama Ragi. Dia pikir lebih baik jauhin Kiki. Karena dia taku Kiki akan marah, dan dia yang dijauhi Kiki. Tapi, sepertinya keputusan dia sendiri salah besar.

"Jiyya, lo gak pa-pa?" tanya Daffa. Daffa baru menyadari ada bekas luka d ujung bibir Jiyya. "Jiy, bibir lo kok memar?"

Jiyya langsung sadar. Bekas tamparan Ragi masih belum hilang. Jiyya sebisa mungkin tidak mau membahas apa yang terjadi antara dia dan Ragi. Jiyya buru-buru mengambil bukunya dan memasukan ke tas. Lalu dia berdiri dan berjalan cepat keluar kelas. Meninggalkan Daffa yang masih heran dengan sifat Jiyya hari ini.

Harusnya Jiyya menemui Ragi. Kalau tidak Ragi akan marah lagi. Tapi, dia penasaran dengan keadaan Kiki. Jiyya berlari menuju kantin, biasanya Kiki selalu bisa ia temui di sana. Tapi sayangnya tidak ada Kiki. Perasaan Jiyya makin tak karuan.

Jiyya berlari lagi menuju fakultas Kiki. Dia masih ingat kelas dan jadwal Kiki kuliah. Jiyya mendapati beberapa teman Kiki ada di depan kelas. Jiyya bisa mengenalinya karena Kiki pernah kerja kelompok dengan mereka.

Jiyya langsung ke point. Dia menanyakan Kiki. Namun jawaban dari mereka sama seperti yang di katakan Daffa. Tapi kali ini lebih menyesakkan di dengan Jiyya. Jantung Jiyya terasa ingin lepas.

Kiki udah lama keluar kampus. Alasannya tidak bisa membayar uang kuliah lagi. Dia udah balik ke rumahnya sejak Jiyya pacaran dengan Ragi. Tapi kabar duka datang. Ayah Ragi meninggal. Dan itu pukulan keras untuk Kiki. Kiki yang dulu hidup serba ada dan dilimpahkan kasih sayang, harus membuang mimpinya untuk menafkahi kedua adiknya dan ibunya. Karena itu tugasnya sebagai anak tertua.

Jiyya merasah lemas. Tubuhnya goyah dan hampir jatuh. Namun, entah dari mana Daffa datang dan menopang tubuh Jiyya.

"Ji lo gak papa? Lo pucat banget. Panas lagi. Gue bawa ke UKS ya."

Jiyya mendorong Daffa karena merasa Daffa terlalu dekat dengannya. Jiyya menyangga tubuhnya ke tembok di ssampingnya air matanya mengalir.

Dia merasa jahat dengan Kiki. Pertama dia sudah merebut Ragi dari Jiyya. Dan di titik terberat Kiki, Jiyya tidak di sana. Dia malah bersenang senang dengan Ragi. Di saat sahabatnya yang selalu ada untungnya sedang menangis keadaannya.

"Maafin gue Kiki. Gue memang jahat. Gue gak pantas jadi sahabat lo. Gue penghianat. Maafin gue," gumam Jiyya sambil terisak tangis.

Daffa ingin sekali memeluk Jiyya yang menangis. Namun dia tau pasti Jiyya bakal menolaknya lagi. Daffa cuma dia di samping Jiyya. Menemani Jiyya sampai Jiyya merasa lega.

***

Buuuk ...

Sebuah pukulan mengenai mata kanan Jiyya. Jiyya menahan sakit sambil menutupi matanya. Tubuhnya tersungkur di atas lantai. Dia menatap Ragi yang marah dengan alasan yang tidak Jiyya tahu.

Sejak kejadian dia menemui Bima. Jiyya pindah kos. Kali ini dia satu kos dengan Ragi. Tapi Ragi di kamar sebelahnya. Sebab ini kos campuran cewek cowok. Ini juga keinginan Ragi.

Ragi kini mengatur setiap jadwal kehidupan Jiyya. Jiyya harus pulang ke kos tepat waktu. Dan tidak boleh main keluar bahkan sesama teman ceweknya. Atau tidak Ragi bakal marah dan memukul Jiyya. Padahal di sisi lain Ragi bebas main sana-sini tanpa seizin Jiyya. Tapi jika Jiyya membantah, Ragi akan marah.

Sebenarnya Jiyya tak tahu pasti kenapa Ragi seperti ini. Apa alasannya. Awalnya sangat berat. Tapi dia sudah punya komitmen untuk tetap bersama Ragi. Seiring waktu Jiyya terbiasa dengan Ragi yang memarahinya, membentaknya, dan bahkan memukulnya.

"Ragi gue salah apa?" tanya Jiyya.

"Lo tadi jalan sama cowok lain kan. Gue denger dari temen gue. Kalian duduk berdua di lorong."

Jiyya hanya menunduk, taj lagi mau membalas pernyataan itu. Dia tak mau terkena satu pukulan atau tamparan lagi dari Ragi.

Nyatanya tadi dia bersama Daffa. Jiyya tahu. Padahal Jiyya sudah mendorong Daffa supaya pergi. Tapi malah Daffa masih di sana menemani Jiyya yang sedang menangis. Alhasil Jiyya terkena pukul lagi oleh Ragi.

Jiyya cuma diam. Karena dia tahu, jika ia menjawab dia bakal di pukul lagi.

Pyaaar!

Ragi melempar gelas kaca ke arah Jiyya. Bukan, lebih tepatnya di samping Jiyya. Jika salah satu cm saja, Jiyya yang akan mengenai gelas itu. Tubuh Jiyya bergetar ketakutan. Dia takut Ragi yang seperti ini. Why Ragi berubah?

Ragi berjalan keluar kos Jiyya. Jiyya bisa mendengar jelas suara pintu yang di banting keras. Kadang Jiyya berpikir akan lebih baik jika ia mati di tangan Ragi.

Jiyya berdiri. Dia mendekati kaca di depan mejanya. Melihat dirinya yang benar-benar hancur. Matanya memar kemerahan. Nampak jelas, dan ini terasa sakit. Jiyya merasa kasian pada dirinya sendiri. Tapi dia tidak tahu harus apa. Jiyya menganggap ini hukuman yang pantas untuknya atas perlakuannya ke Kiki.

"Gue menyedihkan," Gumamnya.

"Kenapa gue masih sayang ke orang yang sering mukul gue?"

Jiyya terduduk, sedikit terisak dan memeluk lututnya sendiri erat. Tubuhnya bergetar, berusaha menelan semua kepahitan yang saat ini dia hadapi.

***

TBC
Part By : RashyQuila1

No Sweet Candy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang