"Cobalah untuk menerima cobaan. Karena kuyakin akan manis pada waktunya."
***
"Ugh!" Jiyya mengeluh, merasakan pergelangan tangannya begitu sakit.
Warna merah membekas di sana, membuat Jiyya meringis setiap kali dia memegang tangan kirinya sendiri. Rasanya seperti ada yang menghimpit pergelangannya kuat, sampai-sampai sia meneteskan sedikit air mata.
Tangan kanan Jiyya mengambil obat merah yang berada di samping lemari. Dia meneteskan pada kapas, dan mengoleskan perlahan pada bibirnya. Sedikit noda merah ada di sana, ditambah memar membiru yang tentu membuat mata Jiyya semakin berkaca-kaca.
Tut ... tut ... tut ....
Sebuah panggilan masuk ke handphone Jiyya. Dia mengecek nama yang tertera di sana. Matanya sedikit membulat lebar, dan tubuhnya tersentak membaca nama yang ada di layar itu.
Dia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan. Lalu mengintip keluar jendela. Dia tak melihat motor Ragi yang biasanya ia naiki. Dengan cepat, Jiyya mengangkat telpon itu.
"Hallo, Jiyya? Lo di mana?" Sebuah suara berat dengan nada sedikit khawatir membuat Jiyya menurunkan volume telponnya.
"Gue di kos, mau apa?" jawab Jiyya dingin.
"Kenapa hari ini lo gak masuk kampus?"
"Penting, ya? Buat lo?"
"Bukan masalah penting atau engga, Jiy. Tapi, gue gak bisa lagi biarin lo bolos gitu aja. Dosen bakalan terus nanyain lo!" seru Daffa agak sedikit emosi.
"Gini ya, Daf. Gak usah lo sok peduli sama gue, gue baik-baik aja. Gue cuman males pergi ke kampus, udah itu aja."
Jiyya segera mematikan telponnya, dan segera merebahkan diri ke kasur.
"Ugh ...." Sekali lagi dia mengeluh, karena lengannya bersenggolan dengan sudut ranjangnya sendiri.
Jiyya menutup matanya dalam. Membayangkan sesuatu yang membuatnya tersenyum sendiri. Tangan kanannya kembali mengambil handphone yang berada di sebelahnya.
Satu pesan yang sudah masuk sedari tadi. Dan dia sama sekali tidak membacanya. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba malas untuk membaca pesan dari pacarnya sendiri.
[Lo gak ke mana-mana, 'kan?]
Tapi, saat dia memandang layar kotak bercahayanya. Jiyya dikagetkan dengan bunyi motor yang menderu kencang masuk ke gerbang kos. Jiyya segera terbangun, dia segera membuka pesan chat Ragi dan membalasnya.
Namun, semuanya terlambat saat dia mendengar suara ketukan di depan kosnya. Bulu kuduknya segera meremang, merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi lagi.
Dengan segera Jiyya membuka pintu, dan berusaha tersenyum manis ke Ragi, walaupun hatinya saat ini sakit dan hancur.
"Kenapa? Urusannya udah kelar, ya?" sapa Jiyya berbasa basi dengan senyuman khasnya.
"Lo dari mana?" tanya Ragi tiba-tiba membuat Jiyya mengerutkan keningnya.
Dia menggeleng. "Gue gak ke mana-mana ... kenapa memangnya?" tanyanya.
Ragi mengembuskan napas kasar. Dia menarik tangan Jiyya ke dalam kosnya sendiri dan menutup pintu.
"Lo baca pesan gue?" tanya Ragi memastikan.
"Ah, iya ... gue baru aja baca waktu lo datang."
"Kenapa?"
"Ya ... karena gue baru lihat HP."
"Bukan karena lo pergi ke luar, 'kan?"
"Ya bukanlah ... gue dari tadi di dalam kamar gue. Jangan nuduh gitu, dong. Lo gak boleh terlalu negatif thinking sama pacar lo sendiri!" sengak Jiyya berusaha agar suaranya tidak bergetar.
Ragi menyipitkan matanya. Dia terdiam sejenak sambil menatap dalam mata Jiyya.
"Jujur!" ucap Ragi dingin.
"Iya gue udah jujur!" Jiyya menjawab tak mau kalah.
"Jujur sama gue, Jiyya!" Satu lagi kalimat yang terlontar dari mulut Ragi, hal itu benar-benar membuat Jiyya membatu.
"Buat apa gue ngaku atas perbuatan yang gak gue kerjain?"
Plak!
Satu tamparan berhasil kembali mengenai Jiyya. Dia memegang pipinya perlahan, matanya mulai mengeluarkan air mata. Dia tak tahan dengan kelakuan Ragi yang selalu membuatnya putus asa.
"Ragi, lo kenapaa ...?" tanya Jiyya dengan suara bergetar.
"Salah lo, karena gak mau jujur sama gue. Ragi menjawab ketus dengan wajah keram dan menatap Jiyya penuh amarah.
Jiyya hanya bisa menggeleng perlahan, sembari mengusap wajahnya yang sedikit perih dan memerah. "Gue udah jujur ... gue gak ke mana-mana. Kenapa lo nuduh gue gitu terus, Ra? Gue gak tahu lagi yang lo minta kejujuran kayak gimana."
Cowok itu terdiam. Dia membaliksan badan dari Jiyya dan bersidekap dada. Dia mengelus kepalanya perlahan, merasakan sesuatu yang berdenyut begitu cepat.
"Gue tahu lo tadi ke luar." Ucapan Ragi terdengar benar-benar memaksa. Memaksa Jiyya untuk mengakui hal itu.
"Lalu? Gue harus jawab 'iya', begitu? Dan lo bakal marah juga ke gue karena gue pergi keluar tanpa ngasih tahu ke lo? Begitu? Lalu? Jawaban mana yang menurut lo bener, Ra! Gue gak tahu lagi!"
Mendengar kalimat akhir itu Ragi segera berbalik. Dia mengucapkan tiga buah kata yang membuat Jiyya tak percaya. "Lo punya banyak cowok yang deketin lo, 'kan?"
"Ragi! Lo jangan asal ngomong, ya! Bisa gak sih, lo? Percaya sama gue sekali aja! Kayak dulu lo pernah percaya sama gue? Gue kangen itu, Ragi ...." Tangis Jiyya pecah, dia memegang tangan kekar Ragi.
Sementara itu, Ragi tak mengubris, dia hanya terdiam, membiarkan Jiyya menangis meratapi hubungan mereka yang sepertinya sedang berada di ujung tanduk.
"Gue sayang sama lo ...." Lirihan dari Jiyya membuat Ragi sedikit luluh.
Ragi mengangkat tangannya, membiarkan tangannya itu menarik tubuh Jiyya ke dalam pelukannya. Perlahan, Ragi mengelus kepala Jiyya dan membiarkan kehangatan itu menyelubunginya.
"Gue juga sayang sama lo, Jiy. Jangan bikin gue cemburu lagi." Ragi memeluk Jiyya erat.
Sementara Jiyya tenggelam dalam tangisnya. Air matanya terus keluar, sudah lama dia tak merasakan pelukan dari cowok yang ia sukai. Sudah lama semuanya ia rindukan. Sekarang, semuanya akan kembali seperti semula.
Jiyya merasakan Ragi sudah mulai kembali, dia merasakan kehangatan dari tangan kekar Ragi. Bukan lagi tangan kasar yang setiap hari memukulnya jika dia tidak memberikan kabar padanya. Dia merindukan hal ini. Sangat.
"Maaf, Ragi ... jika selama ini lo selalu curiga sama gue, selalu curiga dengan hubungan gue ama temen-temen. Lo tahu, kalau gue lebih banyak bergaul sama cowok, dari pada cewek, Ra ... gue harap lo bisa ngertiin gue kayak dulu."
Tak ada jawaban dari mulut Ragi. Namun, dua masih saja memeluk Jiyya dalam, dan mengusap kepala Jiyya. Perlahan, rambut Jiyya yang tadinya rapi mulai berantakan karena tangan itu.
Tut ... tut ... tut ....
Telpon Jiyya kembali berdering. Dia segera melepas pelukan dan mengambil handphone yang tadinya ia taruh di atas kasur.
Ragi yang melihat telpon segera menghentikan langkah Jiyya. Dia malah melangkah, dan mengambil telpon itu. Namun, satu nama di layar itu membuat mata Ragi kembali berubah sangar.
Daffa.
***
TBC
Part By : Nao_Tan
KAMU SEDANG MEMBACA
No Sweet Candy [END]
Romansa[TAHAP REVISI] 🌸 Tak semua yang manis, berakhir manis pula. Kadang yang manis, bisa juga menyakitkan. Hubungan yang awalnya terasa manis, kadang bisa berakhir sangat pahit. "Katanya karma selalu datang dan menghanyutkan semua rasa bahagia menjadi d...