"Jika memang cinta ini salah, kenapa aku yang harus terjatuh terlalu dalam? Dan memang, aku yang salah."
***
Ragi dengan lembut membelai rambutnya. Ragi tersenyum dan tertawa di setiap kata yang ia ucap. Nada bicaranya juga sangat lembut. Berbanding terbalik dengan Ragi yang memperlakukan Jiyya. Dia bukanlah Ragi, tapi orang lain. Jiyya dengan kedua matanya melihat Ragi bermesraan dengan cewek lain. Rasanya jauh lebih sakit saat dulu dia melihat Bima selingkuh. Setelah cukup lama Jiyya buta, kini dia bisa merasakan betapa sakitnya pukulan itu, cacian, dan kali ini pengkhianatan.
Bima menyengir melihat Jiyya yang berkaca-kaca. Jiyya menatap Bima dengan sadis. "Lo seneng?"
"Lo liat sendiri, itu Ragi yang sebenarnya," ujar Bima.
Jiyya melihat Ragi sekali lagi. Rasanya ingin sekali ia datang ke sana, dan menghabisi semuanya. Namun bisa apa? Jiyya hanya akan mendapat masalah dan rasa sakit yang semakin pedih.
Jiyya berbalik badan, dan berlari pergi dari sana. Bima tersenyum puas. Rencananya berhasil. Bima dari awal memang berencana menganggu hubungan Jiyya dan Ragi. Bima tahu Jiyya akan tersiksa seperti ini. Tapi ini seimpas dengan rasa malu dan sakit saat Jiyya meninggalkannya dulu.
"Lo gak akan bahagia, kalau bukan gue yang bahagiain lo." Kata-kata itu yang terus diingat Bima.
Bima mengejar Jiyya yang sudah cukup jauh dari dia. Jiyya mulai meneteskan air mata. Yang ia rasakan sekarang, lebih baik dia mati dari pada harus hidup dengan penderitaan seperti ini. Dia tidak punya keluarga yang bisa ia jadikan tempat teduh. Sahabatnya pergi karena keegoisan Jiyya sendiri. Dan sekarang orang yang ia cintai, berkhianat. Padahal dia rela di pukul, di caci, menahan rasa sakit setiap detiknya. Pada akhirnya Jiyya sadar, dia hanya sebagai pelampiasan. Pelampiasan emosi Ragi.
Bima memegang lengan Jiyya. Jiyya berhenti dan menatap tajam Bima. Air matanya belum sepenuhnya berhenti.
"Lo mau apa lagi?" bentak Jiyya.
"Lo udah liat, 'kan, seberapa brengseknya cowok itu. Lo masih mau sama dia?"
"Itu urusan gue. Lo enggak usah ikut campur. Tolong … hiks."
"Gue peduli sama lo, gue mau--"
"Gue yang gak mau. Emang kalo lo peduli sama gue, lo gak bakal bikin gue kayak gini. Karena penderitaan gue dimulai saat lo datang lagi di depan gue," ujar Jiyya dengan nada berat.
Bima berdecak kesal. "Jiyya, dengerin gue." Bima mencengkram tangan Jiyya dengan erat. Sampai Jiyya merintih kesakitan.
"Sakit ... lepasin!"
"Jiyya, gue--"
"Gue bilang lepasin." Jiyya terus memberontak. Tapi itu justru membuat cengkraman Bima makin erat.
Bhuuuk … sebuah tinju melayang di pipi Bima. Bima langsung terlontar ke tanah dan melepas Jiyya.
Serangan tiba-tiba itu mengejutkan Bima. Cowok berambut gondrong itu--Daffa langsung berdiri di depan Jiyya.
"Lo cowok apa banci. Kok beraninya ancam cewek?!" tegas Daffa.
Bima kesal, dia langsung berdiri dan ingin berbalik menghajar Daffa. Tapi Daffa terlebih dulu menendang perut Bima,-- Bima kembali terjatuh ke tanah.
"Lo bukan lawan gue," ancam Daffa.
Bima berdiri. Wajahnya masih merengut kesal. Dia melihat sekeliling, banyak mata yang melihat ke arahnya. Daffa mengejek Bima dengan senyumannya.
"Lo bakal nyesel," gumam Bima sambil menarik garis lurus dengan tangannya di bagian leher.
Daffa cuma tersenyum, bahkan mengedip mata ketika Bima pergi meninggalkannya.
Daffa menatap Jiyya, kelopak mata bawahnya membesar, dengan wajah memerah. Perlahan Jiyya terisak tangis. Air mata berlinang membasahi pipinya. Napasnya mulai tersendat karena tangisnya. Daffa tak tega melihat Jiyya yang seperti ini. Dengan lembut dia menarik tubuh Jiyya, dan memeluknya.
Di dalam pelukan Daffa, tangis Jiyya semakin keras. Dia hancur, sakit, sedih. Pikirannya kosong, hanya kesedihan yang ada. Dia benar-benar merasa jatuh, dan tak ingin hidup lagi di dunia ini.
"It's okey …, to make mistakes, to have a bad day. Jangan salahin dirimu sendiri," gumam Daffa pada Jiyya.
Jiyya semakin tak kuasa menahan tangis, dia malah melepaskan semuanya di dalam pelukan Daffa. Daffa yang beberapa lama ini selalu di sampingnya saat dia memang merasa tidak baik. Walaupun, dia akan selalu mengusir Daffa setiap kali cowok itu datang mendekat.
Namun, kali ini tidak akan dia lakukan, Jiyya akan melepaskan semuanya. Kesedihan, kekesalan, dan penyesalan yang sudah lama dia timbun di dalam hatinya sendiri, tanpa menceritakannya kepada siapa pun.
"Daffa ... sakit, Daf ... gue udah gak kuat lagi!" tangis Jiyya memukul pelan dada bidang Daffa.
Terdengar helaan napas Daffa pelan. "Lo bisa, kalau lo gak kuat, lo bisa nopangin beban lo ke gue. Gue siap jadi tempat buat lo lepasin semua beban lo, Jiyya ...."
"Ayah gue, sahabat gue, pacar gue, dan teman-teman gue! Semuanya udah hilang, Daf! Ilang!"
Tangan kekar Daffa semakin memeluk Jiyya erat. Dia mengusap kepala cewek itu lembut, memberikan kehangatan yang sudah lama dirindukan Jiyya.
"Lo bisa cerita sekarang, semuanya. Gue bakalan denger." Daffa melepas pelukannya, dan menangkup wajah Jiyya kemudian mengusap air matanya pelan.
Malam itu terasa begitu dingin bagi Jiyya. Dia kembali mengingat, semua kepahitan yang sudah dia alami selama ini. Hal yang sama sekali tidak dia ceritakan pada orang-orang. Tentang bagaimana kerasnya seorang Ragi.
"Dia udah sering sakitin gue. Untuk fisik, nampar gue, nendang, dan mukul gue masih tahan, Daffa ... sekarang dia malah nyakitin gue dan jalan sama cewek lain di belakang gue ... hikkss ...."
Kembali terdengar tangis memilukan itu. Daffa benar-benar tidak tega melihat semuanya, dia kembali memeluk Jiyya setelah mendengar cerita memilukan itu. Bagaimana Jiyya disakiti, bagaimana kuatnya dia, dan apa alasan kenapa wajah Jiyya selalu dipenuhi memar belakangan ini. Semuanya terjawab sudah.
Tangisan itu semakin lama memudar. Dia melepas peluknya dari Daffa, kemudian menatap mata hitam kecoklatan cowok dalam.
"Makasih ya, Daf," ucapnya tulus.
Daffa mengangguk, sudah lama dia menantikan kata itu dari seorang Jiyya. Dia yang biasanya hanya diusir, dan dianggap mengurusi urusan orang lain, sekarang bisa dianggap, dan bahkan berkesempatan untuk memeluk Jiyya secara langsung.
"Sekarang ... lo bakalan apa?" tanya Daffa saat Jiyya sudah berpaling dan menatap ke arah jalan.
"Gue bakalan berusaha, biar Ragi sadar, Daf. Gue masih sayang sama dia, gue yakin ... gue bisa ngubah dia ke arah yang lebih baik, dan nyadarin semua kesalahan dia."
Mata Daffa membulat sempurna. Dia tak percaya dengan jawaban yang meluncur dari mulut Jiyya. Cewek macam apa yang bisa sabar menghadapi kelakuan cowok yang sepertu Ragi? Keras, dan pemain wanita. Kenapa Jiyya bisa begitu kokoh dengan keinginannya.
"Jiyya ... lo udah disakitin berkali-kali, lo harus akhiri semuanya, Jiy!"
"Ragi hanya perlu kasih sayang lebih, Daf. Dia bisa berubah, gue tahu karena gue udah kenal bagaimana dia, dan dari mana dia berasal."
***
TBC
Part By :
1. RashyQuila1
2. Nao_TanKepo, gak? Gimana next-nya?
Ayo! Sama-sama tungguin next partnya! 🤩🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
No Sweet Candy [END]
Romance[TAHAP REVISI] 🌸 Tak semua yang manis, berakhir manis pula. Kadang yang manis, bisa juga menyakitkan. Hubungan yang awalnya terasa manis, kadang bisa berakhir sangat pahit. "Katanya karma selalu datang dan menghanyutkan semua rasa bahagia menjadi d...