12

11 2 0
                                    

"Raf? Apa lo pernah ketemu pembunuh itu sebelumnya?" Rafa berhenti sebentar.

Ia menghela nafas.

Reyhan dan Clara hanya diam tak tahu harus bagaimana..

"Enggak" Rafa menutup matanya sejenak,kemudian perlahan ia buka dan kali ini ia menatap kedua bilah mata indah Rania lurus. "Tapi dulu gue pernah kek gini, ikut sebuah permainan. Dan gue harus kehilangan semuannya" Rafa perlahan melepaskan genggaman tangannya dari Rania.

Rafa merasa berbeda.

"Lo..pernah nanganin kasus kek gini dulu?"

"Iya..tapi waktu itu gue belum berfikir panjang.."Reyhan menatap Rafa dengan sendu, begitupun Clara. Jelas suara laki-laki itu terdengar parau.

Rafa menatap Rania,Clara,dan Reyhan bergantian "kalian percaya gue kan?"

Mereka mengangguk.

"Apapun yg akan terjadi kedepannya nanti, mungkin bakal bisa bikin kalian ragu sama gue. Tapi,..gue siap kalau seandainya kalian berbalik nyerang gue..gue siap lahir batin.." Rafa menunduk dalam. Ia mulai ragu lagi dengan diri nya sendiri.

"Kenapa kita harus nyerang lo? Gak akan terjadi. Kita semua di pihak yg sama bukan? Kita semua percaya kok sama lo" Rania tersenyum menatap teduh Rafa, Clara pun. Mereka tak berfikiran sepicik itu.

Rafa tertegun sebentar. Senyum itu. Rafa memejamkan mata nya sebentar, menghela nafas pelan kemudian, membuka matanya perlahan menatap manik mata Rania. "Kalian jangan bilang berada di pihak yg sama. Kalian berada di jalan yg menurut kalian sendiri benar. Kalau emang seandainya gue salah serang gue. Bunuh gue. Lanjutin semuanya dan ungkap siapa pembunuh itu sebenarnya"

"Lo..ngomong apa? Kenapa lo ngomong gitu seakan-akan lo yg bersalah? Kita gak ngerti Raf.." Semuanya menyerit bingung menatap Rafa. Mereka benar-benar tak paham arah pembicaraan Rafa.

"Ah, bukan apa-apa. Lupain aja. Gue ngelantur tadi mungkin. Yuk lanjut wawancara, semua udah nunggu" Rafa tersenyum tipis, kemudian melangkah terlebih dahulu.

"Gue kelupaan. Bentar guys, gue mau nanya pak Budi dulu" Rafa terpaksa kembali menghentikan langkahnya. Begitupun Clara dan Reyhan. Saat mereka berbalik untuk menanyakan kenapa, Rania sudah berlari kembali masuk ke kelas. Akhirnya mereka semua membuntuti Rania.

Rania melangkah mendekati pak Budi yg terlihat bersiap akan kembali ke ruang guru dan membersihkan tempat ini.

"Maaf pak. Ada yg ingin Saya tanyakan" ucap Rania sopan

"Ada apa lagi?" Tanya pak Budi mulai kesal.

Rania menelan ludahnya perlahan "Ehm..itu, apa bapak liay lukisan yg ada di sana? Ada lukisan bergambar siluet penggembara?. Apa bapak tau siapa pembuatnya?"

Pak Budi menoleh ke arah tempat yg Rania tunjuk. Kemudian ia melangmah dan melihat detail lukisan, "tidak ada namanya. Biasanya saya meminta anak-anak untuk memberi nama di ujung lukidan karena saya biasanya akan memberi nilai dan apresiasi pada akhir semester nanti setelah lukisan semua anak-anak terkumpul semua" jelas Pak Wahid..

"Apa bapak tidak melihat siapa yg duduk di sini? Apakah mahasiswa atau orang lain?"

"Saya tidak pernah memperhatikan murid saya. Mau dia masuk atau tidak saya tidak peduli. Lagian mengapa kamu bertanya tanya seperti itu?" Pak Budi menatap Rania curiga.

"Ehm..itu pak. Soalnya lukisannya terlihat sangat bagus. Emosi dalam lukisannya juga dapat. Mungkin nanti saya bisa meminta pelukisnya untuk menggambarkannnya lagi untuk saya"  Rania tersenyum lebar, sembari menggaruk tekuknya yg tidak gatal, "Ah, kalau begitu ya sudahlah pak, saya pamit ke kelas. Terima kasih" Rania membungkuk hormat. Kemudian melangkah keluar kelas.

Again Tragic StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang