14.

24 2 3
                                    

"Pembunuh itu membunuh orang untuk mempermainkan seseorang yg menjadi kunci permasalahannya" Ucap Rafa cepat, sangat cepa,ia menatap lurus Rania

"Hah?"

Pletak!

"Aw. Sakit Raf ih.. kan gue gak tau lo ngomong apa. Kecepetan lo tuh ngomongnya!" Ujar Rania seraya mengusap kepalanya yg di pukul oleh Rafa. Tidak keras, namun cukup menyakitkan.

Rafa mencibir pelan "Pembunuh itu ngebunuh orang cuman buat mempermainkan orang yg sekarang jadi kunci semua pemasalahnnya. Jadi.." Rafa menjeda ucapannya, ia mengusap gambaran itu dengan pandangan yg sulit di artikan. Ingat tangan Rafa sudah menggunkana sarung tangan agar jejaknya di sana tidak tertinggal juga dan tidak merusak jejak pertama.

"Artinya pembunuh itu hanya mengincar satu orang di sini. Namun ia membuatnya lebih berbahaya dengan membunuh banyak orang" ucap Rafa meneruskan, ia menatap Pak Wahid yg sedari tadi diam mengamati kelakuan anak anak buahnya.

Rania menyerit dalam, otaknya bekerja sangat lambat. Ia masih dalam mode syok "Bentar gue nyerna dulu kata-kata lo"

"Ya ampun Ran' lo belum paham apa yg di bilang Rafa barusan? Astaga kayaknya ansumsi gue yg bilang lo gak sebodoh yg gue kira itu salah deh. Nyatanya emang lo bodoh. Kayak gitu aja gak tau" Reyhan menggelengkan kepalanya. Ia menatap heran Rania yg masih berfikir keras. Ia tadi sempat mendengar penjelasan Rafa sedikit. Ya hanya sedikit, karena dia tadi bersama Clara menyisir Tempat perkara terlebih dahulu. Dan nyatanya tetap tidak di temukan bukti apapun.

Rania memberengut, ia menatap kesal Reyhan yg seenaknya mengatakannya bodoh. Ia tidak bodoh tapi terkadang lambatt dalam berfikir. Dua hal itu Berbeda bukan?

"Gue cuman lagi lambat berfikir aja. Otak gue lagi gak singkron"

Reyhan memutar bola mata nya malas "Jadi yg lo  mangsud itu incaran pembunuh itu ada di antara kita semua? Gue, Lo, Clara, Rania, Kepala Sekolah?" Rafa mengangguk sebentar ia menatap lurus.

"Gue rasa Rania bukan bagian yg gue mangsud. Dia cuman gak sengaja kebawa karna dia berhasil kita selamatkan. Dia bukan bagian dari kita. Dari Tim kita. Dan seharusnya sekarang dia udah ikut mati bareng mereka" Rania memandang Rafa sedikit kecewa, entahlah perasaan itu seketika menguap begitu saja kala Rafa mengatakan ia bukanlah bagian dari Tim. Memang ia bukan siapa-siapa dan tak akan menjadi siapa-siapa. Dan benar juga. Ia seharusnya sudah mati bersama adiknya hari itu. Bukan malah masih di sini dan mengikuti permainan mengerikan seperti ini.

"Tapi Rania sekarang bagian dari Tim kita bukan Raf' ?" Clara menyela, ia menatap Rania dengan senyum manisnya. Rania ikut tersenyum, hati nya kembali menghangat. Clara gadis itu sangat manis dan sangat baik, entah karena apa ia ikut terjebak dalam permainan ini.

Reyhan mengangguk membenarkan. Ucapan Rafa sangat menyakiti Rania, mungkin. Melihat dari raut wajah gadis itu yg tiba-tiba meredup membuatnya sedikit tidak tega.

"Gue harus bilang yg sejujurnya. Gue tau lo semua cuman gak mau nyakitin Rania karna gue bilang dia bukan bagian dari kita. Dari Tim kita. Dia seharusnya udah mati, iyakan?" Rafa tersenyum miring menatap kedua sahabatnya

"Kenyataan itu seperti pisau. Ia akan menyayat siapapun yg mencari kebenaran" Rafa memasukkan tangannya ke saku celananya, lalu mulai beranjak

Rafa berhenti melangkah, ia menoleh, masih dengan senyum miringnya "Dan.. Jangan peduli siapapun. Karna itu akan lebih menyakitkan jika kenyataanya Kau hanya mengasiani orang itu" setelahnya Rafa melangkah menjauh. Meninggalkan Rania yg membeku dengan perkataan menohok Rafa, serta Reyhan dan Clara yg bertanya-tanya mengapa sikap Rafa menjadi seperti itu.
🍃🍃🍃🍃🍃

"Kehidupan seseorang berbeda-beda bukan? Jangan ukur kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Semua sudah terbagi dengan porsi yg sesuai"

"Menjadi seseorang yg baik itu sangat merepotkan, dan sialnya aku terjebak dalam kerepotan pada diri sendiri yg selalu mudah untuk di manfaatkan"

"Aku ingin mati. Yah, Aku ingin mati. Terlalu banyak beban yg sudah ku pikul sendiri. Dan saat ini aku harus menyerah"

Aku menutup buku dary ku, rasa sesak dan sakit kembali menyerbu ku. Huft, hari ini ia akan pergi? Iya ia akan pergi dengan bunuh diri. Raga dan batinnya sudah terlalu lelah untuk berjuang lagi.

Aku memasukkan buku dary ku ke dalam Ransel, lalu mulai melangkahkan kaki keluar kelas. Iya, dirinya masih berdiam diri di dalam kelas hingga hampir petang. Tujuannya hanya satu, ia ingin mati.

"Kau ingin mati? Bagaimana jika aku saja yg membantu mu untuk mengambil nyawa mu?" Aku menoleh cepat saat sebuah suara memasukki gendang telingaku.

Seorang berpakaian serba putih mendekat dengan senyum miring, wajahnya tidak terlalu terlihat, dia menggunakan kacamata dan topi, belum lagi dia yg menunduk menyulitkan ku untuk melihat wajahnya.

Aku memundurkan langkahku menjauh, ada rasa takut yg menyeruak kala melihat orang itu bergerak mendekat. Aku menoleh ke arah cctv yg terpasang di pojok atas tembok kolidor. Sial, mengapa cctv nya sudah tak nyala? Sudah mati? Bukankah seharusnya cctv nya tidak mati setiap hari? Aku menggigit bibir bawahku kuat, aku yakin orang ini pembunuh yg sedang berkeliaran di sekolah. Bahkan ia bisa melihat dengan jelas cctv yg berada di kolidor tak jauh dari nya pun sudah rusak.

Seorang itu menoleh mengikuti arah pandanganku, ia kemudian tertawa nyaring "Berharap cctv masih menyala? Tidak. Aku sudah memusnahkannya terlebih dahulu agar kau bisa bunuh diri dengan tenang"

Ya Tuhan ini bukan tujuan awal nya..

Ia tak mauu seperti ini..

Ia lebih baik mati bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 2 sekolah dari tadi jika tahu Si Pembunuh berantai sedang mengincarnya untuk sasaran selanjutnya.

"Gadis malang. Kau baik hati, Pintar, Rajin, berkecukupan, namun kau sering di manfaatkan..sungguh miris sekali hidupmu"

Aku termenung, benar..seseorang itu memang benar ia sering sekali di manfaatkan oleh teman-temannya atau orang tua nya. Ya orang tua nya selalu memanfaatkan nilai sempurnanya sebagai ajang pamer. Dan jika nilainya tidak sempurna ia tidak akan mendapatkan jatah makan 3 hari dan juga mendapatkan siksaan dari orang tua nya.

Seseorang itu melangkah semakin mendekat,lalu tanpa aba-aba seseorang itu menyuntikan sesuatu di lengan kiri ku.

Aku terbelak kaget saat menyadari semuanya begitu tiba-tiba hingga ia tak sempat mengindar. Seketika kepalanya berdenyut nyeri, matanya mulai memburam, dan ia mulai tak mampu menahan berat badannya sendiri. Ia limbung. Sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya ia sayup-sayup mendengar kalimat yg di ucapkan seseorang itu..

"Kau akan tidur pengembara..sebentar lagi tugasmu selesai. Aku akan mengakhiri tugasmu itu..selamat datang di permainan ku besok Pengembara kecil. Dan welcome back Bocah nakal" 
🍃🍃🍃🍃🍃

Rafa membanting tubuhnya ke kasur kamar nya, menatap langit-langit kamar yg terlukiskan galaky berbintang yg terpiaskan dari alat canggih miliknya. Tubuhnya serasa sangat kaku, sangat lelah. Otaknya seharian ia gunakan untuk berfikir, berfikir dan berfikir. Hanya itu.

"Kapan misi ini selesai? Aku ingin segera kuliah lagi.." monolog Rafa.

Diri nya Rindu kuliah, Rindu meja hakim yg selama ini ia gunakan untuk praktek dalam perguruannya.

Rafa bangun, ia mengambil sebuah kalung kunci yg sudah sangat usang di dalam sebuah figura kecil. Kalung kunci milik Naya. Ya, kalung itu di temukan oleh Royan saat ia berkunjung di rumah Naya untuk melakukan pembersihan Loteng bersama bibi. Kalung itu tersimpan manis di antara Figura kecil yg menunjukkan foto Diri nya, Alex, Naya, dan ank2 panti lainnya. Di figura itu terlihat sangat jelas bahwa mereka sangat bahagia kala itu. Walau mereka adalah anak-anak yg tidak di inginkan dan di buang.

Rafa meraba kaca figura itu, perasaan hangat selalu saja menyeruak kala ia menatap dan menyentuh figura tersebut.

Aku tak tahu mengapa sekarang kita menjadi seperti ini. Yg ku tahu semua telah berubah, tanpa aba-aba..
_________🍃🍃🍃_________🍃🍃🍃________

Again Tragic StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang