1. Kabar Buruk

30.4K 1.7K 60
                                    

Rendi Baru saja memasukkan mobilnya ke garasi. Pulang larut bukan hal baru baginya. Apalagi saat tiba akhir bulan seperti sekarang.

"Kamu pulang!" Sambut Rini yang langsung beranjak dari sofa saat mendapati anak laki-lakinya itu masuk rumah dengan wajah yang lelah.

"Kenapa mama di ruang tamu?" Tanya Rendi sembari melonggarkan dasinya.

"Nungguin kamu pulang lah." Jawab Rini acuh.

"Kan Rendi sudah sering bilang nggak usah nungguin aku pulang. Mama istirahat sana, sudah malam loh." Ujar laki-laki itu lalu meletakkan tas kerjanya di Sofa.

Rini berdecak sembari mengambil tas anaknya untuk dibawa ke kamar.

"Kamu tahu kan, mama tidak akan pernah nurut. Lagian mau dipaksa istirahat kalo kamu belum pulang juga nggak akan bisa." Rendi menghela nafas pelan, lalu berjalan mengikuti sang mama ke arah kamar.

"Kamu bersih-bersih sana, setelah itu makan. Biar mama siapin."

"Nanti Rendi ambil sendiri aja. Mama istirahat sana." Bujuknya.

"Mama tunggu di ruang makan!" Rini tetap memaksa, wanita itu segera berjalan ke ruang makan sedangkan Rendi hanya bisa diam kemudian mengganti pakaiannya.

......................

"Sudah saatnya kamu memikirkan perusahaan papa Ren." Ujar Rini di sela-sela Rendi menikmati makan malamnya yang sudah sangat terlambat. Laki-laki itu menghentikan suapan, mendadak nafsu makannya hilang.

"Rendi juga masih belajar di perusahaan Bang Bagas Ma." Di kantor, Rendi memang memanggil Bagas dengan sebutan 'Bos' tapi di luar jam kerja, dia akan memanggil atasannya yang sekaligus mantan kakak kelasnya itu dengan sebutan 'Bang Bagas'.

"Menurut mama, cukup banyak waktu yang kamu gunakan untuk belajar di sana. Mama rasa, sudah sangat banyak ilmu yang bisa kamu pakai untuk membangun perusahaan papa." Celetuk Rini.

"Ma.."

"Ren, perusahaan papa satu-satunya peninggalan yang akan menghidupi sampai nanti. Mama cuma punya kamu, harapan mama cuma kamu." Tegas Rini.

"Mama tahu, kamu memang tidak berniat melanjutkan perusahaan itu. Mama tahu kamu bekerja di perusahaan Bagas hanya untuk menghindar dari hal ini." Rini menghela nafas pelan.

"Mama paham, kamu tidak ingin berada dalam situasi yang membuat kamu semakin trauma karna kepergian papa. Tapi kamu pernah berfikir nggak, papa sudah berjuang mempertahankan perusahaan kita hingga meregang nyawa. Apa kamu tega membiarkan perusahaan itu tidak terurus."

"Mama sudah semakin tua, Ren. Tidak mungkin mama akan melanjutkan perusahaan itu selamanya." Air mata Rini spontan menetes. Membuat Rendi yang ingin membantah kembali menelan kata-katanya.

Rini benar, semakin hari umurnya semakin bertambah. Dia tidak mungkin mengemban tugas sebagai pimpinan seterusnya. Rendi sadar akan hal itu.

Tapi rasa trauma yang dialami Rendi, memberatkan hatinya untuk kembali menginjakkan kaki ke perusahaan mediang sang papa.

Beberapa tahun silam, Rendi menemukan Agus Hartawan, sang papa, tewas di ruangannya. Usut punya usut, dari hasil penyelidikan pihak berwajib, Agus menjadi korban pembunuhan oleh saingan bisnisnya.

Kasus itu terungkap tiga bulan setelah jenazah Agus dikebumikan.

Dari sana, Rendi seperti tidak ingin lagi terikat apapun yang berkaitan dengan perusahaan milik papanya. Bahkan sejak saat kejadian, Rendi tidak pernah lagi menginjakkan kaki di perusahaan Agus Hartawan Meski pelakunya sudah ditangkap.

Bukan Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang