"Mama yang sabar, keinginan mama biar Rendi turuti satu-satu. Sekarang biarin Rendi menyelesaikan urusan di kantor bang Bagas dulu, setelah itu baru mulai masuk ke kantor papa."
"Terus nikahnya kapan?!"
"Ya kalo sudah siap. Toh, mama sendiri yang bilang ngasih waktu ke aku untuk kenalan lebih dekat sama Shanaz."
"Jangan lama-lama kasih Shanaz kepastian, kasihan anak orang digantungin."
"Dia aja santai banget, mama kali yang terlalu khawatir."
"Mama cuma berharap, kamu nggak akan mencari cara yang aneh-aneh lagi untuk membatalkan acara perjodohan kalian."
Rendi hanya mampu menghela nafas kasar. Memang itu niatnya mengulur-ulur waktu demi mencari cara jitu untuk membatalkan acara yang sudah Rini susun.
_________________
Dan di sinilah Rendi sekarang, keluar dari mobil sembari menyeret langkahnya dengan malas mendekati pintu utama rumah Bagas.Mengetuknya lima kali tidak ada yang merespon membuat laki-laki itu jengkel dan langsung masuk begitu saja.
"Gila, kaget! Gue kira maling!" Seru Bagas yang baru saja turun dari tangga.
"Ngetuk pintu berkali-kali nggak ada yang dengar. Lagi pada asyik ngapain sih?!" Ujar Rendi lalu menjatuhkan dirinya ke sofa.
"Lagian lo malam-malam ke sini mau ngapain. Ganggu orang tidur aja." Protes Bagas.
Rendi mengerjap pelan lalu melirik ke arah jam dinding.
"Baru jam tujuh, tumben amat lo tidur jam segini. Ntar malam mau lembur ya sama Hanum?" Goda Rendi.
"Kepo!" Timpal Bagas.
"Gue perlu bicara serius sama lo bos." Sahut Rendi to the point.
"Tumben lo serius banget. Kaya mau mati aja." Seru Bagas sembari tertawa membuat Rendi berdecih pelan.
"Gue mau resign bos."
"Ha, gimana? Lo mau apa?"
"Gue mau resign."
"Bentar, gue ada salah sama lo? Kenapa tiba-tiba banget? Lo nggak betah lagi kerja sama gue apa gimana?"
"Bukan gitu, mama minta gue untuk segera gantiin posisinya di perusahaan papa." Jelas Rendi.
"Gue mau melanjutkan perusahaan papa." Tegasnya sekali lagi.
Bagas tersenyum lega, laki-laki di sampingnya itu sudah dia anggap seperti adik kandungnya sendiri.
Seluk beluk kehidupan Rendi tidak satupun yang terlewat dari pengamatan Bagas. Termasuk masa lalu keluarganya yang memang menyedihkan.
"Gue bangga sama lo. Akhirnya setelah sekian lama, keberanian lo terbangun juga." Bagas menepuk pelun bahu laki-laki di sampingnya.
"Demi mama bos,"
"Panggil Bang Bagas kaya biasanya aja. Gue kan udah bukan bos lo." Ralat Bagas.
"Gue bisa nggak ya Bang, jadi pemimpin yang baik untuk para karyawan?"
"Gue tahu lo orangnya bijak dan bertanggungjawab. Gue sih yakin lo mampu mengemban tugas itu."
"Gue belum sepenuhnya lupa sama pembunuhan yang terjadi pada papa, Bang." Wajah Rendi tampak muram kala mengucapkan kata-kata barusan.
"Ren, kalau rasa trauma itu dipelihara, maka lo nggak akan pernah menemui kemajuan."
"Lo bayangin deh, Om Agus udah berusaha keras membangun perusahaan itu, berjuang sampai akhir hayat demi mempertahankan perusahaannya dari orang-orang jahat. Lo harusnya bangga bisa melanjutkan apa yang sudah pernah keluarga lo perjuangankan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Permainan Takdir
Chick-Lit[CERITA LENGKAP] "Lo mau sebutin, takdir apa saja yang tidak bisa dirubah?" "Kelahiran, Kematian dan jodoh mungkin." "Hemm... Jodoh ya! Kaya kita gini bukan sih?" "Ngimpi aja sana!"