15. Siapa Naruh Bawang di Sini?

7.9K 1K 13
                                    

'Kita bercerai saja.'

Pesan yang laki-laki itu kirimkan, akhirnya berubah tanda menjadi centang dua warna biru, setelah hampir tiga hari lamanya.

Entah angin apa yang membuat Rendi segalau ini, bahkan sejak pulang dari kafe kemarin, dirinya memeriksa pesan tersebut hampir setiap menit, demi menunggu balasan dari Shanaz.

Dan baru pagi ini, laki-laki itu dibuat lega mendapati pesannya sudah mulai dibaca.

Baru saja merasa tenang, Rendi kembali gugup saat mendapat sebuah panggilan video dan tertera nama Shanaz di sana.

'Tumben video call?'

Belum menggeser tombol 'terima' saja, tangannya sudah kebas. Rasanya seperti tidak sanggup menahan diri lama-lama untuk mendiamkan panggilan itu.

"Ada apa? Tumben video call." Tanya Rendi berlaga dingin, padahal dirinya sedang menahan gugup setengah mati.

Wajah perempuan yang sebulan lebih tidak pernah dia pandangi itu, sekarang tergambar jelas di ponsel canggihnya.

"Nggak ada apa-apa, tiba-tiba pengen ngobrol aja. Kemarin kan nggak jadi ngobrol." Ujarnya.

"Gue udah bikin keputusan," Ucap Rendi dengan nada penuh penekanan.

"Iya, gue juga udah baca pesan lo. Sori baru balas, emang baru buka HP hari ini." Jawab Shanaz sembari tersenyum kecil.

Pasti sibuk ngurus pernikahan sih!  Gerutu Rendi dalam hati.

"Lagi sarapan ya?" Rendi mengangguk sembari mengangkat sendok dan garpunya.

"Lo makan apa?" Tanya Shanaz.

"Bikin mie instan sama telur." Jawab Rendi cepat.

"Gue kira, lo pulang ke rumah mama."

"Enggak, gue stay di apartemen. Lebih dekat dari kantor juga."

"Udah nggak WFH?"

"Beberapa hari ini udah mulai aktif lagi." Dari layar yang bisa Rendi lihat, Shanaz tampak mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.

Perempuan itu semakin bengkak saja menurutnya. Pipi yang sebulan lalu masih tampak biasa sekarang jauh lebih chubby.

Rendi terdiam, kembali merenungi pemikirannya beberapa minggu lalu. Laki-laki itu sempat berfikir, menikah dengan Shanaz tidak terlalu buruk juga. Terbukti sebulan ini dia begitu belingsatan melakukan apa-apa sendiri setelah Shanaz pergi, dan tentunya tidur sendiri pula.

Hal yang menjadi sangat asing, saat perempuan hamil itu tidak menempati sisi kosong di tempat tidurnya.

Tidak ada yang menyiapkan sarapan, tidak ada yang menyiapkan baju kerja, tidak ada yang bisa dia ajak berdebat.

Nyatanya, keberadaan Shanaz selama beberapa bulan ini membawa cerita berbeda dalam kehidupan Rendi.

Ahhh Shit! Apa yang lo pikirin. Jangan ngaco Ren! Please.

"Ren, lo jangan ngalamun napa! Kesambet pagi-pagi rasain." Seru Shanaz membuat lamunan Rendi buyar. Kemudian terkekeh begitu saja.

"Udah mau berangkat ya?"

"Belum, masih ada setengah jam lagi." Jawab Rendi setelah melirik jam tangannya.

"Bisa pakai dasinya nggak?" Satu hal yang selalu Shanaz ingat dari Rendi, apalagi kalau bukan ketidakmampuannya memasang benda kecil itu.

"Enggak, nggak usah pakai." Jawaban itu sontak membuat Shanaz berdecak.

"Sana gih ambil, gue ajarin dari sini!" Rendi tampak mengabaikan, laki-laki itu hanya memandang layar ponselnya. Mengamati Shanaz yang tampak mencari-cari sesuatu di laci kamarnya.

Bukan Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang