5. Ketakutan Mama

8.4K 1K 12
                                    

"Mama kenapa murung? Nggak senang besok aku nikah?" Tanya Rendi dengan nada pelan, sembari mendekat ke arah Rini yang tengah duduk sambil mengusap-usap bingkai foto mediang sang suami.

"Senang, Senang banget malah!" Jawabnya lalu meletakkan bingkai itu kembali ke meja sesuai posisi semula.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di perusahaan sang papa sudah Rendi lalui selama satu bulan ini. Perkenalannya dengan Shanaz tetap berjalan meski tanpa kemajuan. Rini yang sudah gentar menikahkan mereka diam-diam menyiapkan semua keperluan. Dan akhirnya besok pagi, akad pun dilaksanakan.

"Kenapa melamun?" Tanya Rendi lagi, lalu duduk di bawah kaki sang ibu.

Rini menggeleng pelan lalu tersenyum pada bingkai di depannya.

"Mendadak kangen sama papa kamu, harusnya dia ada di sini dan bisa melihat kamu ijab qabul besok pagi." Pandangan Rini lurus ke depan, tatapan penuh harap akan kehadiran sosok suaminya di pernikahan putranya besok.

"Papa pasti datang dan lihat semuanya kok ma, yah... meskipun di alam yang berbeda." Hibur Rendi, tangannya mengusap pelan pipi sang mama yang mendadak basah karna air mata.

"Kamu bahagia?" Tanya Rini sembari mengajak Rendi untuk duduk di sampingnya.

"Asal mama bahagia, Rendi pasti bahagia." Jawab laki-laki itu singkat.

"Terimakasih sudah menjadi anak baik untuk mama dan papa." Ujar Rini sendu membuat Rendi hanya mampu terdiam.

"Mama tahu kok, kamu menuruti kemauan mama dengan setengah hati. Mama tidak benar-benar menutup mata akan hal itu." Rendi masih tetap diam.

"Kamu tahu Ren, papa sering banget datang ke mimpi mama. Dia terus meminta mama untuk membujuk kamu agar segera menikah." Rendi mengerutkan alisnya mendengar ucapan Rini barusan.

"Kamu pasti paham apa tujuan kami." Rendi menyugar rambutnya kasar lalu mengangguk pelan. Pandangan matanya tampak suram seolah ada kepedihan yang sudah lama dia coba tutupi.

"Papa selama ini memendam perasaan bersalah, karna sudah memisahkan kamu dan Yurika." Raut wajah Rini menyiratkan penyesalan besar, tangisnya juga belum berhenti.

"Awalnya kita pikir, itulah yang terbaik. Tapi nyatanya rasa kecewamu terlampau dalam sampai sejauh ini." Rini menoleh ke samping, mendapati ekspresi sang anak yang tidak jauh darinya. Rini betul-betul paham bagaimana perasaan Rendi sekarang.

"Bahkan, papa dulu sering menangis setiap kali diam-diam memergoki kamu memandangi foto Yurika." Rendi tertegun.

Jadi selama ini....

"Papa merasa sangat hancur, ketika kamu mengamuk karna Yurika akhirnya menikah dengan orang lain."

"Tidak ada orangtua yang ingin melihat anaknya patah hati.."

"Kekhawatiran papa dan mama berlanjut sampai sekarang. Meski papa sudah tiada, mama yakin perasaan bersalah kita masih sama." Lanjut Rini.

"Apalagi di umur yang sudah sangat cukup ini, kamu belum juga mencari pengganti Yurika." Rini mengusap wajahnya kasar.

"Mama takut Ren, mama tidak bisa membayangkan kamu benar-benar bertekad tidak menikah setelah berpisah dengan Yurika."

"Mama nggak mau itu terjadi sama kamu." Rini menghela nafas pelan. Dadanya sesak mengungkapkan semua hal yang selama ini dia pendam.

"Itulah kenapa, mama kekeh banget minta kamu untuk segera mengakhiri masa lajang."

"Mama sangat khawatir usia mama tidak panjang lagi, mama pasti akan sangat sedih kalau Tuhan mengambil mama sebelum melihat kamu bahagia."

"Kalau sampai mama meninggal  dan kamu belum menikah, siapa yang akan terus-terusan nyuruh kamu cari jodoh. Siapa yang akan kasih kamu motivasi agar mau menikah!"

"Mama benar-benar tidak mau itu terjadi." Ulangnya terus-terusan.

Rendi seperti lebur dalam diamnya. Suasana yang semakin larut semakin sendu itu mampu membuat perasaan Rendi yang awalnya tenang menjadi sangat berantakan.

Masa lalu yang mampu mengobrak-abrik hati dan pikirannya itu memang tidak pernah bisa berhenti mengusik kehidupan Rendi.

Pikirannya melayang jauh pada satu nama yang tidak pernah bisa dia lupakan, bahkan sudah belasan tahun lamanya. Ya, Yurika Yohana Rilan. Wanita mungil dengan wajah cantiknya itu, mampu membuat masa SMA Rendi begitu berwarna.

Mantan playboy di jamannya itu akhirnya bertaubat setelah bisa menjadi pacar Yurika. Perempuan yang dikagumi hampir semua laki-laki di SMA Rendi. Tidak ada yang tidak iri dengan kemesraan keduanya.

Bahkan di akhir masa SMA pun, keharmonisan mereka masih tetap terjalin.

Namun semua berubah saat Agus, papa Rendi mengetahui kisah asmara sang anak. Perbedaan kepercayaan yang dianut Rendi dan Yurika menjadi alasan kuat Agus menentang hubungan keduanya. Mungkin bukan suatu hal yang aneh terjadi di masyarakat, tapi moment itu bisa membuat Rendi mengubah prinsip hidupnya dengan begitu kuat.

Setiap Agus memberi arahan, Rendi selalu menolak dengan keras. Hingga suatu hari kesabaran Agus habis. Dia membawa Rendi pindah, Agus bahkan bekerja sama dengan orangtua Yurika untuk memisahkan keduanya.

Perpisahan pun akhirnya terjadi. Patah hati hebat juga luka yang tertinggal itu seolah tidak ingin mengering dan hilang.

Apalagi, dua tahun setelah keluarga Agus pindah, Rendi mendapat kabar jika Yurika memutuskan menikah. Patah hati yang Rendi rasakan semakin menjadi-jadi. Hancur semua harapannya untuk mengejar cinta Yurika kembali.

Sejak saat itu, dia bahkan seperti tidak minat lagi dekat dengan perempuan apalagi sampai menjalin hubungan. Hatinya tertutup rapat. Tidak ada yang mampu mendobrak hati ponggah itu untuk ditempati.

"Awalnya Rendi juga berfikir tidak akan menikah kalau tidak dengan Yurika. Tapi akhirnya Rendi sadar, jodoh tidak bisa dipaksakan." Senyum tipis Rendi tunjukkan pada Rini yang masih menangis.

"Mama tahu nggak, Rendi dulu playboy banget." Rini tidak paham itu ungkapan seperti apa. Tapi wanita itu tetap mengangguk.

"Iya mama tahu," Lanjutnya.

"Mama tahu nggak, Yurika yang membuat aku berhenti jadi playboy." Rini terdiam.

"Mama tahu nggak, se-playboy-playboynya cowok, kalo udah nemu orang yang benar-benar dia inginkan, cowok itu bisa lebih setia dari orang setia." Rini tergagap.

"Apalagi orang itu sabar, lemah lembut dan penyayang seperti Yurika."

"Makanya Rendi selalu cari perempuan yang kaya dia. Tapi anehnya nggak pernah nemu." Ungkapan itu penuh penekanan.

"Ren...." Sela Rini, seperti tidak ingin Rendi melanjutkan pembahasannya kali ini.

"Tapi Rendi sadar, tidak semua yang Rendi inginkan harus dikabulkan sama Tuhan. Barangkali, Tuhan lebih memahami apa yang Rendi butuhkan."

"Iya kan, Ma?"

"Rendi tahu, do'a mama selalu yang terbaik. Bukankah Restu orangtua adalah restu Tuhan juga?" Tangis Rini semakin menjadi, tapi seulas senyum tipis itu tidak mampu ia tutupi.

"Maafkan mama nak," Ujar Rini sembari memeluk erat tubuh putranya.

Kedua tangan Rendi mendekap wanita di sampingnya itu dengan penuh kasih sayang.

"Rendi sayang mama sampai kapanpun!"

Bukan Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang