"Mama yakin ini rumahnya?" Tanya Rendi memastikan.
"Yakin, dulu mama sering banget main ke sini sama papa. Mama nggak mungkin salah alamat."
"Bisa jadi udah pindah." Tebak Rendi membuat Rini mendengus.
"Enggak mungkin, ya udah ayo turun." Ajak Rini sembari membuka pintu mobil.
"Boleh nggak mama aja yang turun, biar Rendi tunggu di mobil." Tawar laki-laki itu sambil menyenderkan kepalanya pada kursi mobil.
"Jangan main-main ya Ren. Jangan bikin mama malu!" Protes Rini dengan nada galak.
"Ck! Iya.. Iya!"
Dengan langkah yang sangat dipaksakan, Rendi akhirnya mengalah dan mengikuti Rini masuk ke halaman rumah milik Sidik.
Begitu ramah sang pemilik rumah, bahkan sebelum pintu diketuk, Sidik sudah terlebih dahulu keluar dan menyambut Rini beserta Rendi dengan begitu hangat.
"Selamat datang!"
"Apa kabar pak Sidik?" Sapa Rini.
"Alhamdulillah baik, bu. Mari silahkan masuk." Ujarnya.
"Terimakasih pak," Ucap Rini lalu duduk di sofa ruang tamu.
"Ini Rendi ya? Pangling saya melihatnya." Rendi mengangguk sembari tersenyum canggung.
"Benar Pak, terakhir ketemu kalau tidak salah tujuh tahun lalu ya." Jawab Rendi membuat Sidik sontak mengangguk.
"Iya, tidak menyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Kamu semakin dewasa dan berwibawa." Puji Sidik pada Rendi.
"Pak Sidik bisa saja." Bukan Rendi yang menjawab, melainkan Rini. Anak laki-lakinya itu hanya sebatas mengulum senyum minim, tampak tidak tertarik dengan basa-basi yang tengah mereka lakukan.
"Eh ada tamu.." Sosok perempuan dengan penampilan acak-acakan, rambut diikat asal-asalan, dengan celana jeans pudar di atas lutut serta kaos oblong hitam kebesaran itu tiba-tiba muncul di hadapan ketiga orang yang tengah asyik berbincang. Menginterupsi percakapan yang tengah terjadi.
Sidik sedikit terlonjak lalu menggaruk tengkuknya, menyadari sang putri baru saja mempermalukan dirinya di depan Rini dan Rendi.
Dengan senyum canggung yang dipaksakan, Sidik berusaha memberi kode pada putrinya lewat lirikan mata, agar memperbaiki penampilan.
"Emm, Shanaz permisi ke kamar mandi dulu." Ujarnya sembari berlalu.
"Tolong maafkan putri saya, dia sedang merayakan kelulusan dengan banyak tidur."
Rendi mendelik. Dia merasa ada yang salah dari pilihan Rini kali ini. Bahkan menurut laki-laki itu, anak pak Sidik sama sekali tidak ada cantik-cantiknya. Kata-kata Rini kemarin seperti omong kosong belaka.
"Nggak pa-pa pak, namanya juga anak muda. Toh penampilan di rumah sangat wajar kalau apa adanya." Rendi semakin mendelik. Bisa-bisanya Rini berkata seperti itu.
"Itu yang mau dikenalin ke Rendi?" Bisik Rendi ke arah sang mama, membuat Rini melotot tidak nyaman, takut jika Sidik mendengar gerutuan putra semata wayangnya.
"Saya panggil bibi dulu untuk membuat minum." Pamit Sidik.
"Tidak usah repot-repot, Pak." Cegah Rini.
"Tidak apa, sebentar."
"Ma, Rendi nggak mau!" Tegas Rendi saat Sidik sudah tidak ada.
"Kamu belum kenalan sudah main nolak!"
"Nggak masuk kriteria Rendi ma, perempuan tadi kaya masih remaja. Nggak cocok banget buat diajak ke jenjang serius. Rendi yakin, dia masih suka main-main."
![](https://img.wattpad.com/cover/243499466-288-k16469.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Permainan Takdir
Chick-Lit[CERITA LENGKAP] "Lo mau sebutin, takdir apa saja yang tidak bisa dirubah?" "Kelahiran, Kematian dan jodoh mungkin." "Hemm... Jodoh ya! Kaya kita gini bukan sih?" "Ngimpi aja sana!"