7. Menolak Fakta

8.6K 938 21
                                    

"Apa lo bilang?" Tanya Rendi sembari mundur selangkah setelah berhasil menarik korset di perut Shanaz.

Laki-laki itu mematung cukup lama karna Shanaz tidak juga bersuara. Tubuh perempuan itu tampak bergetar mengurai kegugupannya.

"Gue hamil." Ulang perempuan itu sekali lagi setelah beberapa saat mencipta keheningan. Suaranya pelan, tapi penuh penekanan.

"Lo nggak usah bercanda! Kita lagi di kamar bukan panggung komedi kalo lo lupa." Seru Rendi berseloroh dengan tawa geli meremehkan ucapan Shanaz.

Laki-laki itu sungguh tidak ingin bernegatif thinking. Ini malam pertama woii!!

"Gue serius! Ini bukan mengada-ada." Perempuan itu berdiri, lalu melepas gaun panjangnya menyisakan bra dan celana pendek di atas lutut, sembari menghadap ke arah Rendi.

Rendi menelan ludahnya kasar, bukan karna mendapati pemandangan erotis di hadapannya. Tapi karna pandangan tajam matanya fokus ke arah perut Shanaz yang memang sudah tampak membuncit.

Tatapannya beralih pada korset yang dia pegang.. Jadi?

Satu hal yang Rendi sadari, selama berkenalan dengan Shanaz, perempuan itu selalu memakai kaos kebesaran atau gaun yang tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Awalnya, Rendi berfikir bahwa Shanaz tidak suka dengan pakaian pres di badan, tapi siapa sangka semua itu bisa jadi dilakukan semata ingin menutupi kehamilannya.

"Berapa usianya?" Tanya Rendi dengan nada suara dingin.

"Usia kehamilannya udah jalan empat bulan.." Ujar Shanaz merasa terintimidasi.

"Itu artinya, sebelum kita kenalan lo emang udah hamil?" Tanya Rendi cepat, Shanaz mengangguk pelan membuat Rendi meremas korset di tangannya.

Namun Rendi masih tidak berniat mengungkap banyak  pertanyaan, meski hati dan pikirannya menginginkan itu.  Dia ingin Shanaz yang akan menyuarakan semua fakta tanpa diminta.

"Cowok gue yang lakuin ini, dan dia nggak mau tanggung jawab sama perbuatannya. Dia kabur, gue nggak tahu dia pergi kemana." Shanaz mengusap wajahnya kasar. Pandangan matanya suram, tentu ada banyak hal yang dia sesali.

Rendi hanya menatapnya tajam. Benar-benar tidak ada yang ingin dia lakukan saat ini.

"Gue kenal dia setahun yang lalu, dia anak rantauan asal Palembang dan kerja di Jakarta. Kita jadian kira-kira enam bulan lamanya. Tapi salah gue juga yang terlalu percaya sama dia, dan semua hal ini akhirnya terjadi." Keputusasaan Shanaz tampak jelas terlihat.

"Lo perempuan pintar! Punya gelar S2 yang artinya nggak perlu diragukan lagi kecerdasannya, tapi bisa kepleset kaya gini??" Seloroh Rendi semakin membuat wajah Shanaz pucat pasi.

"Kadang gelar dan pangkat manusia tidak bisa membuatnya terhindar dari khilaf kan? Sekalipun begitu, gue emang bodoh dalam hal cinta." Suara parau Shanaz mampu membuat Rendi terdiam.

"Awalnya gue bingung mau menutupi dengan cara apa. Bahkan niat aborsi semakin hari semakin besar. Gue berulangkali memakai cara-cara jahat untuk memusnahkan janin ini."

"Tapi dia selalu selamat.."

"Gue nggak bisa bayangin kalo papa sampai tahu hal ini."

"Berarti sampai sekarang papa Sidik belum tahu kondisi lo?!" Shanaz menggeleng pelan.

"Setiap kali gue mual dan muntah-muntah, papa mengira itu masuk angin biasa." Rendi tidak mengira akan menikahi perempuan bodoh yang berlindung di balik gelar S2nya.

"Setiap berganti hari, gue yakin kehamilan ini akan semakin sulit ditutupi. Bahkan gue sampai harus bohong ke papa untuk menikmati liburan dengan banyak tidur. Padahal, gue cuma meminimalisir interaksi dengan papa." Penjelasan Shanaz mampu membuat kepala Rendi semakin pusing. Bahkan perempuan itu lebih tidak masuk akal dibanding dirinya yang berusaha menggagalkan pernikahan dengan cara yang aneh sekalipun.

"Harusnya kehamilan itu akan memudahkan kita membatalkan perjodohan ini kalo lo jujur dari awal." Seru Rendi.

"Justru setelah ada rencana perjodohan itu, gue merasa nggak perlu membunuh bayi tidak berdosa ini." Bantah Shanaz.

"Dan lo berfikir akan menjadikan gue bapak dari anak lo itu?" Tunjuk Rendi ke arah perut Shanaz.

Shanaz membisu mendengar tuduhan Rendi yang memang benar adanya.

Laki-laki di hadapannya itu tampak sudah tidak sabar menahan amarah yang sejak tadi dia bendung.

"Itu namanya lo jebak gue!!" Bentak Rendi sembari melempar korset ke sembarang arah.

Air mata Shanaz semakin deras. Tapi perempuan itu masih cukup bisa mengendalikan dirinya.

Dia berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menghapus jejak air mata yang deras itu lalu menatap Rendi dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Awalnya memang begitu, tapi setelah ijab qabul tadi, gue mendadak menyesali semuanya."

"Gue nggak seharusnya egois kaya gini. Gue nggak bisa melimpahkan kesalahan gue ke lo yang nggak tahu apa-apa." Ucap Shanaz meski masih sesenggukan.

"Penyesalan lo terlambat! Harusnya lo mikirin itu semua sebelum kita menikah."

"Gue minta maaf..."

"Bego! Minta maaf juga nggak ada gunanya." Emosi Rendi semakin tidak terkendalikan.

"Gue harus gimana sekarang?" Tanya Shanaz frustasi.

"Yang seharusnya tanya kaya gitu gue!" Ujar Rendi penuh amarah.

"Ren.. Gue pasrah apapun keputusan lo." Ucap Shanaz lirih.

Laki-laki itu sama sekali tidak memberi respon apapun. Rendi berdiri dengan begitu cepat, mengenakan kembali celana panjangnya, mengambil jaket dan ponselnya kemudian keluar kamar meninggalkan Shanaz yang masih mematung di depan meja rias.

_________________

Partnya pendek 😂😂 harusnya jadi satu sama yang awal, tapi kepanjangan wkwk

Bukan Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang