ch 6 - Senandika Asmaraloka

694 85 21
                                    

Sang jingga telah muncul di ufuk barat. Seperti biasa, adiwarna..
Angin sore begitu lembut menerpa surai hitam kecoklatan milik seorang gadis mudah yang berdiam diri di atas gedung kosong terbengkalai.

Merentangkan tangan seakan menyambut hadirnya kebahagiaan yang berlari memeluknya.
Senyumnya begitu lembut, tangannya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantiknya.
Menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan perlahan. Membuang semua beban yang terpendam. Terduduk dipinggir tanpa pembatas, mengayunkan kaki jenjangnya kesana kemari.

Senyumnya mengembang, tangannya terangkat ingin menggapai lembayung senja yang terlukis dilangit. "Rasanya tenang.. terima kasih senja."

Sudah biasa ia di gedung ini. Dapat dikatakan, gedung kosong ini merupakan tempat bermain bagi Lisa. Banyak gambar yang dilukis ditembok gedung ini. Namanya mural.. Lisa bahkan baru mengetahui hal itu pada saat kenaikan kelas sebelas.

Saat Lisa duduk sendiri di taman yang bersebelahan dengan sungai Han. Pemuda tak dikenal tiba-tiba menghampiri dan mengajaknya berbicara. Mereka berbincang cukup lama sampai menghilangkan rasa canggung diantara keduanya.

Pria ini tampak seumuran dengannya, mengajak berkeliling kota hingga tiba di suatu tempat yang begitu indah.
Beragam corak warna dapat Lisa temukan disana, sejenak ia dapat melupakan semua masalah. Tersenyum begitu tulus melihat keindahan karya seni yang dibuat oleh tangan manusia.

Ingatannya bersama seseorang yang memberi pengetahuan baru untuk Lisa. Pemuda itu begitu manis saat dilihatnya. Bahunya kokoh, senyumnya begitu menawan. Tinggi, putih, dan yang paling Lisa ingat. Saat ia tersenyum maka matanya akan menyipit lucu.
Sayangnya lisa lupa untuk menanyakan nama pemuda manis itu. Ia terlalu senang sehingga melupakan satu hal yang penting untuk dicari.

Memori lalu melintas di pikiran Lisa, pemuda itu memanggilnya Acya. Singkatan dari Alicya. Lisa sangat menyukai nama itu, berharap akan bertemu kembali dan akan tahu siapa nama pemuda yang selalu hadir diingatannya tanpa permisi.
Gadis itu tersenyum tipis kala mengingat panggilan yang ia buat untuk pemuda manis itu.

Seeun, berasal dari kata sun yang mengartikan matahari. Senyumnya memancarkan cahaya, ceria jiwanya. Berani sifatnya, tampan rupanya.
Seperti matahari yang senantiasa menyinari bumi.
Cerah, juga mempesona.

Lisa tersenyum tipis kala mendapati matahari perlahan turun. Hingga bulan akhirnya yang menggantikan.
"Ku harap.. kita akan bertemu Seeun."

Menoleh kebelakang, sepi sekali. Tak heran, Lisa sudah terbiasa. Perlahan ia menuruni tangga, meraba setiap gambar yang terlukis indah di masing-masing sudut.
Senyumnya mengembang sempurna, tampak bahagia menatap satu persatu gambar penuh warna. Hatinya berdesir saat menatap dalam sebuah bunga lavender yang dilukis di sana.
Mengingatkan akan sebuah suara yang berkata.

"kamu seperti warna ungu. Misterius, unik, ambisius, tentu saja menarik. Namun dimata mu, aku seperti melihat harapan besar yang belum tercapai."

Suara itu mengalun begitu lembut di telinga Lisa. Seperti radio yang berputar di ingatannya, juga melodi terdengar merdu.

Tangannya terangkat, Lisa mengamati jam dipergelangan tangannya yang selalu berputar. Alisnya menukik bingung, "ternyata gue udah disini dua jam. Sekarang setengah tujuh."
Helaan nafasnya panjang, ia berpikir. Akan kembali pada kehidupan yang penuh akan kekangan, aturan, dan bahaya.

Melangkah keluar dari gedung, menempatkan tudung jaket diatas kepalanya. Meletakkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang terpakai.
Mengamati sekitar, banyak orang-orang berlalu lalang. Menunduk tak memperhatikan lingkungan, hanya fokus pada jalan.
Sesekali gumaman melodi terdengar halus.

OUR STORY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang